Rabu, 13 November 2013

Sedihhh....... Mengharukan.....


Applause untuk pengarangnyaaaaaa.......
ceritanya menyentuhhhh......
 

DEAR NAYA

Naya memerhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seems awkward. Ia tersenyum geli melihat dirinya sendiri di cermin pada pagi hari ini. Rambut panjangnya yang biasa tergerai kini harus dikepang menjadi enam belas bagian. Kalung liontin putih yang biasa dikenakannya pun kini harus berganti dengan kalung-kalungan dari tali rafia yang terdiri dari tiga warna; merah, kuning, dan hijau. Gelang dari sabut kelapa berwarna coklat tua juga terlihat menghiasi pergelangan tangan kirinya. Tak hanya itu, kaus kaki panjang selutut berwarna merah yang dikenakannya juga terlihat tak kalah aneh dari atribut-atribut yang harus dikenakan lainnya. Terakhir, topi caping seperti petani tak lupa ia letakkan di atas kepalanya. Ia bercermin sekali lagi. Tak apa lah, MOS ini hanya akan berlangsung tiga hari, pikirnya. Naya bergegas mengambil tas Converse hitamnya, sebelum kemudian keluar kamar dan berlari kecil menuruni anak tangga.
Di bawah, kedua orangtuanya telah menunggunya di meja makan untuk sarapan bersama. Naya mengambil roti selai blueberry yang disiapkan mamanya tanpa banyak bicara. Ia memakannya dalam diam. Tiba-tiba, HP di sakunya bergetar.
Nay, gue udah di luar. Cepatan, ntar telat!
Setelah membaca pesan singkat tersebut, Naya segera berpamitan pada orangtuanya untuk berangkat sekolah. Ia menyalami tangan kedua orangtuanya yang tidak berkata apa-apa pada pagi ini.
“Ma, Pa, Naya berangkat dulu ya,” pamitnya sambil berjalan ke luar. Kedua orangtuanya hanya diam. Tak lama kemudian, “Nay, hati-hati ya, Nak,” ucap mamanya pada akhirnya. Naya menganggukkan kepalanya.
“Yuk, berangkat!” Naya berkata pada Kafka yang telah menunggunya di luar dengan muka ditekuk.
Naya menghela napas. “Yeee, marah. Nggak seru banget!” ledeknya.
“Habisan lo lama banget sih! Ntar kalau kita telat gimana? Jadi makanannya para senior ntar.” Kafka, sahabatnya yang satu ini tetap ngomel. Naya hanya mendengakannya dalam diam.
“Kenapa diam?” tanya Kafka setelah selesai ngomel panjang lebar.
“Lagi mikir. Kira-kira, dalam sembilan menit bisa nyampai ke sekolah nggak ya?” tanya Naya yang kemudian menyadarkan Kafka akan sesuatu.
“Hah!Kenapa lo nggak bilang dari tadi. Kalau gini ceritanya kita bisa telat!! Cepatan naik!” perintah Kafka seketika.
“Yuk, jalan!” ujar Naya setelah naik ke sadel sepedanya Kafka. Tanpa membuang waktu lagi, Kafka segera mengayuh sepeda sekuat-kuatnya. Naya menahan tawa di belakang. Siapa suruh ngomel-ngomel gitu, ujarnya dalam hati. Dari SMP dulu, Naya juga selalu pergi berangkat dan pulang sekolah bersama Kafka. Sahabatnya dari kecil ini, walaupun seperti itu, tapi sebenarnya ia orangnya baik. Sangat baik malahan. Naya melihat jam di pergelangan tangannya. 06:57. Tiga menit lagi bel masuk berbunyi. Ia jadi mulai was-was. Terlambat di hari pertama masuk SMA samasekali bukan ide yang bagus. Tapi mau bagaimana lagi. Naya hanya pasrah. Kemungkinan besar mereka pasti telat.
Kafka tetap mengayuh sepedanya. “Nay, udah jam berapa?” tanya Kafka sedikit berteriak kepada Naya. “Udah cepat. Kayuh yang kuat! Nggak usah banyak tanya,”  jawab Naya kalem. Lebih baik Kafka berkosentrasi untuk tetap terus mengayuh.
8 menit kemudian, mereka tiba di depan SMA Regina Pacis. Kafka segera memarkirkan sepedanya di tempat khusus sepeda. Setelah itu, ia berjalan menuju pagar hitam sekolah yang tertutup rapat. Seorang penjaga sekolah menghampiri mereka berdua yang berdiri di luar pagar. Naya hanya bersembunyi di balik badan Kafka. Ia sedikit takut sebenarnya.
“Pak, maaf. Kami telat,” ujar Kafka memberanikan diri.
Penampilan penjaga sekolah itu terlihat seram dengan kumis hitam tebalnya. Ia sepertinya ingin menumpahkan lahar amarahnya saat ini juga. Ia masih diam memerhatikan Kafka dan menelitinya dari atas hingga bawah.
Naya menahan napas pasrah. “Sampeyan siswa baru takye?” tanya bapak itu dengan logat khas Madura yang kental. Seketika tawa Naya hampir meledak mendengarnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya untuk menahan tawa. Ia mendengar samar-samar.
“Nay, diem lo!” pinta Kafka dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Naya menganggukkan kepalanya sambil berusaha kuat menahan tawanya agar tidak meledak. Tampang boleh seram kayak Freddy Krueger, tapi ternyata Madura asli takye, Naya bermonolog dengan dirinya sambil menahan tawa.
“Iya, Pak,” jawab Kafka akhirnya. Dari name tag yang melekat di seragamnya, Kafka mengetahui namanya adalah Pak Didi. Beliau menganggukkan kepalanya.
“Jadi, kami boleh masuk, Pak?” tanya Kafka harap-harap cemas.
“Ya sudah. Sampeyan boleh masuk. Tapi besok-besok jangan sampai terlambat lagi takye,” Pak Didi mengingati sambil membuka pagar hitam tersebut. Naya mengikuti Kafka di belakang.  Ia mengembuskan napas lega.
Setibanya di koridor sekolah, Naya mencoba memerhatikan penampilannya sekali lagi. Sepertinya ada yang kurang. Ia berusaha mengingat-ingat lagi. Apa ya? pikirnya. Naya menarik tangan Kafka yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.
Kafka membalikkan badannya. “Aduh, Nay. Apa lagi sih? Ntar kita telat!” tanya Kafka kesal sambil memerhatikan kerumunan siswa baru yang sedang berbaris di lapangan.
“Memang udah telat!” dengus Naya tak kalah kesalnya.
Kafka menatapnya tak percaya. “Apa lagi sekarang, Nay?” tanya Kafka frustasi.
Naya menggigit bibir bawahnya. Senewen. “Kayaknya atribut MOS gue ada yang kurang deh, Kaf,” kata Naya.
Kafka mengamati sahabatnya yang berdiri di depannya ini dari atas ke bawah. Lengkap gini atributnya dibilang kurang, Kafka membatin.
“Nggak ada kok, Nay. Tenang aja deh,” ujar Kafka sambil menarik tangan Naya dan segera bergegas ke lapangan.
Tak lama kemudian, kepala sekolah memimpin upacara pembukaan MOS yang berjalan dengan tertib. Matahari menyinari dengan panasnya yang meyengat. Naya menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangannya. Satu jam pun berlalu. Naya mengembuskan napas lega saat upacara ini selesai. Akhirnya, pikirnya. Ia segera menghampiri Kafka yang berada tak jauh darinya.
“Kaf Kaf!” seru Naya sambil tesenyum lebar. Ia duduk di samping sahabatanya itu. Kafka tidak menyahuti. Naya memerhatikan wajah Kafka. Pucat, pikirnya khawatir. Naya menyentuh kening Kafka yang ternyata sangat panas.
“Kaf, lo sakit?” tanya Naya tulus khawatir.
Kafka menggeleng lemah, membuat Naya semakin khawatir.
“Kaf, gue serius. Lo belum sarapan, ya?” tanya Naya sekali lagi.
“Nay, gue nggak pa-pa,” jawab Kafka lemah.
“Nggak pa-pa artinya ada apa-apa, Kaf! Pasti tadi nggak sarapan,” omel Naya.
“Kelas yuk, Nay,” ajak Kafka lemah nyaris berbisik.
Naya menuruti permintaan Kafka. Sesampainya di kelas, Naya memilih duduk bersebelahan dengan Kafka di bangku di deretan ketiga dari depan. Suasana kelas terlihat ingar-bingar. Ada yang sedang sibuk berkenalan satu sama lain, ada yang sibuk membetulkan atribut MOS-nya, hingga Naya menyadari sesuatu setelah melihat sekelilingnya.
“Kaf, gue lupa bawa papan nama!” bisik Naya pada Kafka.
Kafka hanya mengangguk. Naya mulai resah sendiri. “Kaf!” panggil Naya lagi.
Kafka menolehkan kepalanya, dan menatap Naya heran. “Gue lupa bawa papan nama. Gimana ini?” tanya Naya dengan raut wajah takut. Kalau dihukum gimana ini? batinnya kalut.
“Ya udah. Nggak pa-pa,” jawab Kafka menenangkan.
“Lo bawa papan nama nggak?” tanya Naya yang berharap Kafka menjawab tidak.
Kafka menganggukkan kepalanya lemah. “Aduh! Mati gue!” kata Naya sambil menepuk keningnya. Tak lama kemudian, terlihat tiga orang senior memasuki kelas.
“Selamat pagi, adik-adik semuanya,” sapa senior yang sekarang sudah berdiri di depan kelas.
“Selamat pagi, Kak, “ jawab mereka kompak.
“Nama saya Citra. Kalian bisa panggil saya Kak Citra. Selama MOS tiga hari ke depan, saya dan bersama dua rekan sayalah yang akan membina kalian di kelas sepuluh-1 ini. Mengerti semuanya?”
Lagi-lagi mereka menjawab kompak. “Mengerti, Kak.”
“Dua rekan saya ini, dari sebelah kiri, namanya Kak Dea, dan di sebelah Kak Dea adalah Kak Dion.”
Naya mengamati kakak-kakak seniornya ini. Ia dapat mengambil kesimpulan, Kak Citra, sepertinya orangnya sangat ramah. Kak Dea, menurutnya, terkesan ingin menampakkan kesenioritasannya. Sedangkan Kak Dion, sepertinya orangnya tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya dan terkesan cuek.
“Baiklah, pertama, saya akan memeriksa kelengkapan atribut MOS kalian,” ujar Citra. Bersama kedua rekannya, ia mulai memeriksa kelengkapan atribut MOS yang ada.
“Kaf, gimana ini? Gue takut,” bisik Naya pasrah.
“Udah nggak pa-pa,” ujar Kafka yang masih lemah.
“Papan nama lo mana?” tanya Naya.
“Di tas,” jawab Kafka.
Tak lama itu, tibalah Dion berdiri di depan meja mereka. Ia memeriksa kelengkapan Naya terlebih dahulu. Naya menggigit bibir bawahnya. “Papan namanya mana?” tanya Dion dingin. Tuh kan! Naya membatin pasrah.
“Saya lupa, Kak.” jelasnya pasrah.
Dion menatapnya dengan tatapan tidak peduli. “Lupa gimana?” tanyanya dengan suara dingin yang menusuk.
“Maksudnya, ketinggalan, Kak,” Naya menjawab jujur.
“Berdiri di depan,” pinta Dion santai sambil melanjutkan memeriksa kelengkapan Kafka.
Naya akhirnya maju ke depan kelas bersama beberapa teman lainnya yang atribut MOS-nya juga tidak lengkap seperti dirinya. Naya mengamati Kafka dari jauh.
So sweet ya sama cewek kamu itu! Duduk satu meja, kasusnya sama pula. Mana papan nama kamu?” tanya Dion dengan tatapan meledek ke arah Kafka.
“Nggak bawa dan dia bukan cewek saya. Dia sahabat saya,” jawab Kafka singkat.
“Peduli? Maju depan sana,” pinta Dion sinis.
Kafka melangkah gontai maju ke depan kelas. Ia kemudian berdiri tepat di samping Naya. “Kaf!” desis Naya.
“Apa?” tanya Kafka ogah-ogahan
“Papan nama lo kan di dalam tas. Kok bilang nggak bawa?” tanya Naya heran.
“Ya gue bilang aja nggak bawa. Kenapa? Salah?” jawab Kafka dengan kesal.
Naya mendecakkan lidahnya sebal. “Lo tuh lagi sakit. Lo mau pingsan pas kita dihukum karena perkara ini? Balik sana! Lo kan bawa papan nama. Ngapain pura-pura nggak bawa” ujar Naya sambil mendorong bahu Kafka.
“Apa sih, Nay! Gue nggak sakit. Peraturannya, kalau lo dihukum, gue juga dihukum. Puas?” jelas Kafka.
“Gue nggak minta lo nemenin gue dihukum dodol! Peraturan apa itu!” Naya bersikeras. Naya membuang muka dengan kesalnya. Bersama dua belas siswa lainnya, mereka mendapat hukuman untuk membersihkan lapangan sekolah yang luasnya sepertiga dari luas halaman Stadion Gelora Bung Karno. Di sinilah ia sekarang. Membersihkan halaman sekolah dari dedaunan yang gugur serta sampah-sampah sisa makanan dan minuman.
Sudah hampir dua jam mereka bahu membahu membersihkan lapangan sekolah yang luas itu dan Naya masih belum mau berbicara dengan Kafka. Setengah jam kemudian, Naya beristirahat sejenak dengan duduk di pinggir lapangan. Kemudian, Kafka ikut duduk di samping Naya dalam diam. Naya berusaha menghilangkan egonya.
“Kaf,” panggil Naya yang hanya dibalas dengan gumaman pelan oleh Kafka.
“Gue tuh cuma nggak suka kalau lo udah keras kepala kayak gitu,” kata Naya akhirnya.
Kafka hanya diam. Naya menolehkan kepalanya menghadap Kafka. Ia mengamati Kafka khawatir. Wajahnya memang tidak sepucat tadi. Tapi Naya yakin, panasnya masih belum turun. Kafka terlihat sangat lemah di tengah kondisinya saat ini.
“Masalahnya, lo itu lagi sakit, Kaf. Ngapain bohong dengan pura-pura bilang nggak bawa papan nama. Padahal papan nama lo ada di dalam tas.” jelas Naya masih sedikit kesal.
“Udah gue bilang gue nggak sakit, Naf. Jangan mulai lagi deh,” desis Kafka lemah.
“Dodol! Lo tuh sakit tapi masih aja ngeyel. Nggak perlu pakai dokter, orang awam aja tahu kalau lo sakit. Muka pucat gitu, keukeuh lagi!” kata Naya lagi. Kafka hanya mendengarkannya.
“Jujur sama gue, lo tadi belum sarapan ya?” tanya Naya.
“Belum,” jawab Kafka singkat.
Stubborn!” maki Naya.
“Kalau tahu gitu tadi gue nggak mau berangkat sekolah sama lo, kalau ujung-ujungnya lo jadi sakit gini,” omel Naya lagi. “Gue tuh cuma khawatir, Kaf!!” lanjut Naya lagi.
 Kafka kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya itu. “Nay,” Kafka menghela napas sebelum kemudian menjelaskan semuanya. “Gue cuma nggak pengin lihat sahabat gue dihukum. Prinsip gue, kalau lo dihukum ya gue juga. Gue nggak tega ngelihat lo dihukum,” ujar Kafka tulus.
Naya melunak. “Iya, Kaf. Gue ngerti. Tapi lihat kondisinya juga. Lain kali jangan lagi, ya. Gue cuma lagi apes aja tadi, makanya sampai lupa bawa papan nama,” ujar Naya sambil mengamati langit berwarna kelabu di atasnya. Sebentar lagi pasti hujan, Naya membatin.
“Kaf, balik ke kelas yuk. Ntar lagi hujan. Anak-anak yang lain juga udah pada balik ke kelas,” kata Naya sembari bangkit dari duduknya.
“Ayo cepatan. Diri!” pinta Naya berlagak galak.
“Nggak bisa diri nih,” ujar Kafka. “Gue kan lagi sakit,” tambahnya lagi.
Naya mendecak sebelum kemudian mengulurkan tangannya. “Thank you,” kata Kafka setelah berhasil berdiri. Ia tersenyum jahil. Naya berjalan di depan Kafka. Ia mempercepat langkahnya untuk segera kembali ke kelas. Petir sudah terlihat menyala-nyala di atas sana. Naya memperbesar langkahnya diikuti Kafka di belakangnya. Sebuah ide brilian terbesit di pikiran Kafka. Ia menarik tangan Naya tanpa memedulikan berontakan Naya yang menjejalnya dengan berbagai pertanyaan.
“Kita mau ke mana?” tanya Naya. Kafka hanya diam dan tetap menarik tangan Naya menuju tempat lain. Bukan ke kelas, pastinya.
***
 Di sinilah mereka sekarang. Menyantap bakso di kantin di tengah derasnya hujan. Kafka meyantap baksonya dengan lahap.
“Brilian kan ide gue!” kata Kafka dengan mulut penuh bakso.
“Iya iya. Tapi, kalau nanti dicari sama senior-senior itu gimana?” tanya Naya sambil kemudian memasukkan bakso ke dalam mulutnya
“Nggak mungkin ditanya. Bentar lagi juga pulang. Kalaupun besoknya ditanya, ah pasti nggak mungkin,” jawab Kafka berspekulasi.
“Ambigu banget kalimat lo,” komentar Naya sambil mengunyah baksonya.
Kafka hanya menyeringai sambil mengangkat bahunya. “Berisik. Udah deh makan aja. Sesama penderita lapar akut jangan ribut,” ujar Kafka yang disambut gelak tawa oleh Naya.
“Kita balik tunggu hujan reda aja ya, Nay,” ujar Kafka lagi.
“Sip!” jawab Naya sambil tersenyum lebar.
***
Upacara di tengah hari dengan panas matahari yang menyengat bukan ide yang bagus, Naya membatin. Kepala sekolah memberikan wejangannya dengan hikmat dalam upacara penutupan MOS kali ini. Naya mengambil tisu di sakunya kemudian menyeka keringat di keningnya. Lapar, keluhnya.
“…. dengan ini, Masa Orientasi Siswa yang telah berlangsung selama tiga hari, resmi saya tutup,” bapak kepala sekolah akhirnya menyampaikan inti pokok dari upacara yang telah berlangsung selama satu jam ini.
Naya mengembuskan napas lega. Terlihat beberapa murid lain juga langsung mengucapkan puji syukur. Untung nggak pakai sujud syukur segala, Naya membatin jahil.
“Yuk, balik,” ajak Kafka.
“Oke,” seru Naya senang.
“Ntar, Kaf. Bukain ikatan tali rafia di belakang leher gue dong,” ujar Naya minta tolong.
Naya menundukkan kepalanya, sementara Kafka membukakan ikatan tali rafia tersebut. Kemudian, Naya melepas sabut kelapa yang ada di tangannya. MOS berakhir, craziest things like this pun berakhir, pikir Naya senang.
“Yuk,” tarik Kafka menuju parkiran.
Naya menahan langkahnya. “Gue ke toilet dulu, ya,” ujar Naya.
Kafka menaikkan sebelah alisnya. “Ngapain?” tanyanya heran.
“Mau ngelepasin kepangan rambut. Cuma bentar. You know, just seems so freaking awkward with this hair,” keluh Naya.
Kafka menahan tawa. Benar juga. “Okay, just realised that you looks like sista of Jaden Smith,” ujar Kafka.
Naya mengembuskan napas kesal. “Makanya gue mau buka kepangan ini dulu,” kata Naya.
“Ya udah, gue tunggu di parkiran sepeda ya,” jawab Kafka.
***
Naya menyisir rambutnya yang panjang sebahu di depan cermin. Ia mengamati dirinya untuk beberapa saat. Kemudian, ia menambahkan jepitan besar berbentuk tulang ikan berwarna putih di atasnya. Oke sip, pikirnya. Ia berjalan menuruni anak tangga sambil menenteng tas hitamnya. Naya melihat jam di pergelangan tangannya yang baru menunjukkan pukul 06:30. Masih lama, batinnya.
“Dimakan, Nay,” sapa mamanya setelah menuangkan nasi goreng ke piring di hadapannya.
“Ya, Ma,” jawab Naya sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Pagi ini, ia melihat ketidakhadiran papanya di meja makan. Naya menatap mamanya sejenak. Ia terlalu takut untuk menanyakannya dan memilih tetap menyimpan pertanyaannya dalam diam. Setelah selesai melahap sarapannya, Naya bergegas pamit kepada mamanya dan berjalan ke luar menghampiri Kafka yang telah siap dengan sepedanya.
“Udah lama, Kaf?” tanya Naya.
Kafka menggeleng. “Nggak kok, barusan sampai,” jawab Kafka.
Kafka mengamati penampilan Naya. “Kok lo rapi banget sih?” tanya Kafka heran.
“Hah?” tanya Naya bingung. Ia lantas mengamati penampilannya. “Udah ah, ayo cepatan jalan! Ntar telat!” ujar Naya yang sudah duduk di belakang Kafka.
Kafka pun mengayuh sepedanya seperti biasa. “Kaf, lo pakai parfum, ya?” tanya Naya saat mereka di jalan. Diam-diam, Naya menikmati aroma parfum Kafka.
“Apa?” tanya Kafka balik. Ia tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Naya, barusan.
“Nggak. Nggak ada,” elak Naya.
***
Jam pertama pelajaran kimia berjalan dengan lancar. Bu Dian, guru pembimbing mereka, baru sebatas memperkenalkan kembali materi tentang tabel periodik secara lebih spesifik.
“Nay, kantin yuk,” ajak Kafka saat jam istirahat.
“Mmhh, nggak deh, Kaf,” tolak Naya halus.
Kafka menaikkan sebelas alisnya seperti biasa. “Kenapa?” tanyanya.
Stomach ache,” ujar Naya lirih.
“Oke, mau nitip sesuatu?” tanya Kafka lagi.
“Air mineral aja,” jawab Naya. Kafka akhirnya pergi ke kantin bersama kedua teman lainnya. Sedangkan Naya memilih mengobrol di dalam kelas bersama teman barunya, Wina. Ia mengamati Wina yang sedang serius dengan buku sketsanya.
“Suka buat sketsa dari kapan, Win?” tanya Naya.
Wina meletakkan pensilnya sejenak. “Sejak gue SMP, Nay,” jawab Wina sambil nyengir kuda. “Cuma iseng sih, sebenarnya,” tambahnya lagi.
Naya terseyum sambil menganggukkan kepalanya. “Lo sama Kafka pacaran, ya?” tanya Wina penasaran. Naya yang ditanya begitu cukup kaget untuk beberapa saat. Memang terlihat seperti itu ya? tanyanya dalam hati.
“Hah? Ya enggaklah. Kafka itu sahabat gue dari kecil. Dari TK malahan, hehe,” jawab Naya. Wina tersenyum lebar.
“Kenapa? Suka Kafka, ya?” goda Naya jahil. “Ntar gue bilang ke orangnya deh,” katanya lagi.
“Ehhh, enggak. Siapa yang suka. Cuma nanya aja lagi,” kata Wina sambil mengangkat bahu.
“Haha, iya. Gue cuma bercanda kali,” jawab Naya. Tak lama kemudian, Kafka datang dengan air mineral di tangan kanannya.
“Ini,” kata Kafka menyerahkannya kepada Naya.
Thanks, Kaf,” kata Naya.
Kafka memilih mengobrol dengan teman-teman cowoknya di belakang, sedangkan Naya, memillih untuk menemani Wina menyelesaikan sketsanya sembari menunggu bel masuk berbunyi.
***
Bel yang paling ditunggu sejuta umat pun berbunyi. Bel pulang sekolah yang membahana itu disambut dengan suka ria oleh semua siswa. Naya berjalan bersisian bersama Kafka menuju parkiran sepeda seperti biasanya. Panas siang kali ini benar-benar menyengat hingga ke batas ubun-ubun. Naya mengembuskan napasnya gerah. Sepuluh menit kemudian, Kafka sudah mengayuh sepedanya di bawah tatapan tajam matahari.
10 menit kemudian, Kafka memberhentikan sepedanya di depan rumah Naya.
Thanks, Kaf,”
“Yup,” jawab Kafka.
Naya membuka pintu rumahnya dan berniat melangkahkan kakinya ke kamar saat didengarnya suara ribut dari mama dan papanya.
“Untuk apa, Pa?” suara mamanya terdengar frustasi.
“Kamu kan tahu aku di sana kerja, bukan main-main!” tandas papanya.
Mamanya tertawa sinis. “Kerja?”
“Maksud kamu apa?!” teriak papanya.
“Oh, itu namanya kerja?!” tanya mamanya dingin.
“Keterlaluan kamu!!” papanya terlihat menahan dirinya untuk tidak melayangkan tangannya.
“Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu selingkuh kan sama sekretaris kamu itu!!” jerit mamanya akhirnya. Selanjutnya terdengar tamparan keras. Naya tidak tahan lagi melihatnya, ia memilih lari dan membanting pintu kamarnya dengan kuat. Naya merasakan napasnya naik-turun. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Terlambat. Airmatanya luruh juga. Selama ini ia selalu bersikap kuat menghadapinya. Kini, ia rapuh serapuh-rapuhnya. Ia benci menghadapai kenyataan seperti itu. Ia benci melihat kedua orangtuanya selalu bertengkar seperti ini. Papa selalu sibuk di luar sana dengan perusahaannya. Sedangkan mama, ia selalu menghabiskan waktunya dengan rapat berjam-jam di bank tempatnya bekerja. Jadi pulang cepat hanya untuk bertengkar? pikirnya sinis.
Naya menenggelamkan kepalanya di tumpukan bantal dan menumpahkan segala kerapuhannya di sana. Matanya perih. Ia tidak tahan lagi menghadapi semua ini. Mama-papanya terlihat sangat tidak peduli lagi kepadanya. Ia merasa seperti tidak punya orangtua. Ia menangis sejadi-jadinya untuk beberapa saat dalam kesendiriannya. Aku muak!!! jeritnya dalam hati. Airmatanya belum juga berhenti. Ia terlalu lemah untuk menghadapi hal seperti ini. Ia lelah. Sejak ia kecil, mama dan papanya sudah sering terlibat pertengkaran seperti itu. Ia mengusap airmatanya dengan punggung tangannya dan kemudian mengambil HP-nya yang terletak di lemari kecil di samping tempat tidurnya.
Kaf
Naya mengirim pesan singkat kepada Kafka. Ia benar-benar butuh sahabatnya yang satu itu pada saat ini. Ia terlalu rapuh untuk memendam semua ini sendirian. Tak lama kemudian, ia melihat sebuah panggilan masuk dari Kafka. Sahabatnya ini terlalu mengenal dirinya. Ia langsung mengerti arti pesan singkat dari Naya tersebut. Naya selalu mengirimkan pesan seperti itu kepada Kafka, di saat ia sedang membutuhkan Kafka. Di saat ia terlalu lemah menghadapi semua masalahnya. Naya merasa beruntung memiliki sahabat sepertinya.
Naya menjawab telepon dari Kafka.
Lo nggak pa-pa, Nay?” tanya Kafka khawatir.
“Kaf,” panggil Naya dengan suara tercekat.
Nay, jawab gue,” suara Kafka terdengar sangat khawatir.
Naya tidak menjawabnya. Kafka malah mendengar isakan tangis Naya.
Nay, gue jemput lo di rumah sekarang ya,” kata Kafka akhirnya.
“Iya,” jawab Naya sambil menahan isak tangisnya.
Naya langsung mengganti seragam sekolahnya dengan atasan berwarna merah dan jins hitam. Setelahnya, ia langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah dengan menuruni dua anak tangga sekaligus. Ia masih mendengar keributan kedua orangtuanya. Naya mempercepat langkahnya dan kemudian mendapati Kafka telah menunggunya di luar dengan Mazda hitam-nya.
Kafka membukakan pintu untuk Naya. Naya kemudian masuk dengan matanya yang sembap. Kafka balik ke kursi kemudinya dan langsung melajukan mobilnya ke tempat di mana ia bisa menenangkan Naya.
Sepanjang perjalanan Naya masih diam. Ia sesekali terlihat menyeka airmatanya yang masih turun dengan tisu di tangannya. Kafka sesekali melihat ke arah Naya. Ia menatapnya dengan khawatir.
“Nay, udah dong,” kata Kafka.
Naya hanya menutup muka dengan kedua tangannya. Ia sekarang terlihat begitu lemah di depan semua orang. Lima belas menit kemudian, Kafka memarkirkan mobilnya di sebuah mal. Kafka telah mematikan mesin mobilnya, tapi ia tetap berdiam diri di dalam sampai menunggu reaksi Naya. Pelataran parkir di lantai enam ini terlihat sepi dan gelap. Kafka masih menunggu Naya untuk mulai bicara.
Naya mengangkat mukanya dan mengamati sekelilingnya. “Mal?” tanyanya bingung.
Kafka mengembuskan napas lega. Akhirnya Naya mau bicara juga. “Ya,” serunya menghibur dengan senyum lebarnya.
“Ngapain?” tanya Naya dengan suara seraknya.
“Terserah. Ngapain aja asal bikin sahabat gue balik senyum lagi. Udah ah, yuk! Turun,” ujar Kafka. Ia kemudian keluar dari mobil dan berjalan membukakan pintu Naya. Kafka menarik tangan Naya seperti biasa. Kemudian, mereka masuk ke dalam sebuah bioskop yang langsung terhubung dengan basement parkir di sini.
***
Naya membasuh mukanya di westefel dan merapikan penampilannya sejenak. Setelah itu, ia keluar dari toilet dan mendapati Kafka sudah menunggunya di luar dengan dua tiket masuk di tangannya.
“Film apa?” tanya Naya pada Kafka.
“Film This Means War,” jawab Kafka sambil tersenyum lebar. Naya hanya menganggukkan kepalanya.
“Nay, tunggu sini dulu, ya. Gue beli popcorn dulu,” ujar Kafka. Naya menunggunya di tempat duduk yang tersedia di sepanjang studio. Ia menghidupkan HP-nya. Terlihat terdapat tiga missed-call dari mama. Naya menghela napas berat. Nanti saja, pikirnya.
Kafka kembali dengan dua ice blended chocolate dan satu popcorn ukuran large di tangannya. Naya langsung menyambutnya dengan senyum dan mengambil satu ice blended chocolate dari tangannya. Kafka duduk di samping Naya.
“Mulai jam berapa filmnya, Kaf?” tanya Naya.
“Setengah jam lagi,” jawab Kafka.
“Nay, udah siap untuk cerita?” tanya Kafka hati-hati.
Naya menolehkan kepalanya menghadap Kafka. Ia menarik napas dan mengembuskannya sebelum kemudian berkata, “Nyokap-bokap gue berantam lagi, Kaf,” kata Naya dengan senyum sinis.
Kafka mengamati sahabatnya ini sebelum kemudian menarik Naya ke dalam pelukannya. “Gue juga pernah ngalaminnya. Sabar ya, Nay,” ujar Kafka tanpa bermaksud menggurui. Tentu saja Kafka juga pernah mengalaminya. Mama-papanya bercerai saat ia masih kelas enam SD. Menyakitkan. Tapi, itulah kenyataan yang harus ia hadapi. Sekarang ia tinggal bersama mama dan kakak perempuannya.
Kafka menarik Naya lebih dekat hingga gadis itu bisa menyandarkan kepala di bahunya. Naya tidak perlu menjelaskan segalanya. Ia tahu, Naya begitu rapuh pada saat ini. Ia tidak akan meminta Naya untuk menceritakan semuanya, karena hanya dengan lewat tatapan Naya, Kafka mengerti akan segala yang dirasakan oleh Naya pada saat ini.
“Gue takut, Kaf,” kata Naya lirih.
“Nay, nggak ada yang perlu ditakutin. Semuanya akan baik-baik aja,” ujar Kafka menenangkan.
Naya menggigit bibir bawahnya menahan tangis. “Gue sayang sama mereka berdua. Gue sayang banget, Kaf. Tapi kenapa semuanya jadi hancur kayak gini? Tadi mama bilang, papa selingkuh sama sekretarisnya di kantor. Kenapa papa gue tega ngelakuin itu, Kaf?” kata Naya lirih. Tanpa bisa dicegah, airmatanya mengalir juga. Ia langsung menyekanya dengan tisu.
Kafka mempererat pelukannya. “Nay, udah. Udah, Nay. Gue ngerti gimana perasaan lo. Gue ngerti, Nay,” bisik Kafka lirih sambil mengusap lembut pundak Naya.
“Gue capek, Kaf,” kata Naya menahan isakan tangisnya.
Kafka tetap mengusap lembut pundaknya berusaha menenangkan. Ia membiarkan Naya menangis dalam pelukannya. Naya berusaha menenangkan dirinya. “Nggak peduli seberat apapun masalah yang lo hadapi, lo tetap harus ingat, Nay. Gue di sini untuk lo. Sahabat lo ini akan tetap di sini apapun yang terjadi. Nay, udah ya,”  kata Kafka menenangkan sekali lagi. Naya mengangkat kepalanya dan balas memeluk erat Kafka. Ia tidak tahu apa jadinya jika tidak ada Kafka di sampingnya.
Kafka dan Naya masuk ke dalam studio 3, lima menit sebelum film This Means War dimulai. Mereka duduk bersebelahan di row C seat 8 dan 9. Suasana di dalam tidak terlalu ramai. Hanya belasan orang yang menonton.
“Lo bawa mobil Kak Vina, ya?” tanya Naya setengah berbisik. Setahunya, Mazda hitam yang tadi dikendarai Kafka adalah milik kakaknya, Vina.
Kafka hanya nyengir. “Iya, hehe. Nggak mungkin tetap mau pakai bicycle. Jauh, Nay. Jadi gue ambil aja mobil si Vina,” Naya menganggukkan kepalanya.
Film yang dibintangi Reese Whiterspoon itu cukup menghibur. Genre romantic-comedy yang diambil sangat tidak membosankan. Beberapa adegan terkadang juga membuat seluruh penonton tertawa. Sesekali Kafka melirik Naya yang duduk di sampingnya. Ia tahu ia tidak sepenuhnya membuat Naya tertawa. Gadis itu terlihat sangat rapuh. Akhirnya, film yang berdurasi 98 menit itu usai.
“Makasih untuk semuanya, Kaf,” ujar Naya tulus berterimakasih.
My pleasure,” kata Kafka sambil mengacak rambut Naya.
Mereka berdua keluar dari bioskop. Jam baru menunjukkan pukul 17:00. Kafka masih mempunyai rencana lain.
“Lho, kok ke sini? Kita mau pulang, kan?” tanya Naya saat Kafka menyeretnya ke sebuah studio foto.
Kafka menarik tangan Naya masuk ke dalam studio tersebut. “Pulangnya entar aja lagi. Baru jam lima. Foto dulu yuk!” kata Kafka sambil tersenyum memamerkan baris gigi putihnya. Kafka tidak memberikan Naya kesempatan untuk menolak. Di sinilah akhirnya mereka berada. Sekitar setengah jam Naya dan Kafka berfoto dengan berbagai gaya dari arahan sang fotografer. Lima belas menit kemudian, mereka telah duduk di sebuah restoran.
Naya mengamati sepuluh lembar hasil fotonya dengan Kafka. Kafka yang tadi sibuk dengan Angry Birds di iPhone-nya sembari menunggu pesanan makanan mereka datang, akhirnya ikut melihat apa yang diamati Naya.
“Kaf, lo kok narsis gini sih di sini?” tanya Naya heran.
“Apanya yang narsis? Lo nggak liat muka gue mirip Freddie Highmore gini?” tanya Kafka sambil melirik Naya.
“Iya deh iya,” seru Naya.
“Iya nya nggak ikhlas gitu,”  kata Kafka dengan muka cemberut.
“Malesin ih. Gue yang mirip Chloë Moretz biasa aja tuh,” seru Naya menandingi Kafka.
Kafka mengerutkan keningnya. “Chloë? Oh, yang main di film Diary of a Wimpy Kid?” tanya Kafka penasaran. Ia hanya ingin memastikan.
“Ya!! Chloë di film itu meranin sebagai temannya Greg,” jelas Naya sedikit antusias. Kafka senang melihat Naya perlahan sudah bisa tersenyum kembali. Tak lama kemudian, pesanan makanan mereka datang. Mereka berdua serentak memesan Chiken Yakiniku di sebuah restoran yang menyajikan masakan Jepang.
 “Kaf, gue harus gimana?” tanya Naya tiba-tiba. Kafka yang sedang menyuapkan potongan terakhir daging ayamnya lantas bingung.
“Apanya, Nay?” tanyanya.
“Gue takut orangtua gue mau cerai,” jawab Naya sambil menggigit bibir bawahnya.
“Nay, dengerin gue. Kalaupun orangtua lo nantinya ambil keputusan seperti itu, kita hormati aja. Mereka tahu apa yang terbaik untuk semuanya. Ya?” ujar Kafka meyakinkan.
Naya kembali melanjutkan makannya. Ia tidak tahu apa lagi yang akan terjadi sepulangnya dari sini nanti. Naya menghidupkan kembali HP-nya yang daritadi dimatikannya. Terdapat satu SMS masuk dari mamanya.
Nay, cepat pulang ya, Nak.
Naya membacanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lima belas menit kemudian, Kafka telah mengantarnya pulang. Naya memasuki rumahnya. Sepi, pikirnya. Ia segera naik ke kamarnya dan sedikit terkejut melihat mamanya telah menunggunya di dalam kamar.
“Nay,” panggil mamanya sambil merentangkan tangannya.
Naya yang sedari tadi sudah ingin menumpahkan segalanya langsung menghambur ke dalam pelukan mamanya. “Ma,” bisik Naya lirih. Ia menangis dalam diam. Ia amat menyayangi mamanya. Ia tidak ingin siapapun menyakitinya. Naya mempererat pelukannya saat ia merasakan mamanya juga ikut menangis. Entah sampai kapan ini akan terus terjadi.
***
Naya melupakan sejenak masalah keluarganya. Ia tetap bersikap seperti biasa di sekolah. Hanya Kafka di kelas ini yang mengetahui segalanya. yang tahu semuanya. Sahabatnya yang satu itu tetap setia berdiri di sampingnya apapun yang terjadi.
“Makannya pelan-pelan dong, Kaf,” ujar Naya mengingati saat mereka sedang makan di kantin.
“Iya, iya,” jawab Kafka
“Bener tuh kata Naya, Kaf,” Wina ikut menimpali.
“Njih, Ndoro,” jawab Kafka sambil menyuap nasi gorengnya.
Wina malah tertawa sementara Naya hanya geleng-geleng kepala. Naya menghabiskan potongan terakhir pisang cokelatnya sedangkan Wina menyesap lemon tea dinginnya hingga tandas.
“Kalian cerewet banget!” seru Kafka. Tak lama kemudian, ia terbatuk-batuk sendiri akibatnya.
“Nah lho, gue bilangin juga apa kan,” ucap Wina cuek.
Naya mengambil minuman yang ada di depannya. “Nih minum,” ujarnya.
Kafka meneguk minuman yang diberikan Naya. “Thanks, Nay,” kata Kafka berterimakasih,
Guys, gue ke toilet dulu, ya. Kalian ntar ke kelas duluan aja,” ujar Naya seraya bangkit dari duduknya.
“Oh, oke,” jawab Wina sementara Kafka masih sibuk melahap nasi gorengnya.
***
Naya merapikan penampilannya sambil menghadap cermin di depannya. Ia membetulkan dasinya yang sedikit miring lalu membasuh mukanya dengan air di westafel. Tak lama kemudian, bel masuk pun berbunyi. Ia segera bergegas ke luar dan berjalan dengan tergesa-gesa karena jam pelajaran selanjutnya adalah jam biologi, di mana Bu Siska, guru yang mengajarnya terkenal sangat disiplin dan tidak menolerir keterlambatan barang semenit.
Naya mempercepat langkahnya yang beberapa saat kemudian terhenti secara tiba-tiba Naya meringis saat menyadari kepalanya terbentur dengan sesuatu.
“Punya mata nggak sih?” tanya orang di hadapannya dengan kesal. Naya mengangkat kepalanya dan menahan napas saat menyadari siapa yang ada di hadapannya.
“Maaf, Kak,” ujarnya pelan. Naya masih meringis kesakitan akibat benturan di kepalanya. Dion menatap adik kelas di depannya dengan tatapan sinis.
“Klasik!” Dion langsung berdiri dan hendak berbalik meninggalkan Naya. Niat itu ia urungkan saat dilihatnya darah kental mengalir dari hidung Naya. Dion menahan langkahnya untuk beberapa saat. Naya yang merasakan sesuatu hangat mengalir dari hidungnya langsung refleks menyentuhnya.
“Elo mimisan,” kata Dion dengan ekspresi datar bercampur kaget.
Naya langsung pucat seketika. Ini mimisan yang kedua kalinya dalam beberapa akhir ini. Naya menahan gemetar dari tubuhnya. “Permisi, Kak,” ucapnya sopan sambil berjalan menjauh. Naya segera berlari ke toilet. Dion yang semula hanya membiarkan Naya pergi kemudian memutuskan untuk meyusulnya.
Dion membuka pintu toilet dan mendapati Naya sedang berdiri di depan westafel berusaha menghentikan darahnya yang mengalir. Dion masih terpaku berdiam diri di tempatnya.
“Gue harus ngapain?” tanya Dion tulus khawatir.
Naya tidak menjawabnya. Ia berusaha memberhentikan mimisannya. Dion mendekati Naya dan menyerahkan handuk kecil kepadanya. Naya menerima pemberian Dion. Ia mematikan air westafel dan kemudian menyumbat aliran darahnya untuk sementara dengan handuk kecil tersebut.
“Makasih, Kak,” ucap Naya tulus setelah menerima handuk tersebut.
Dion tidak menyahuti dan malah bertanya dengan cueknya. “Nama lo Naya kan?” tanyanya sedikit lebih ramah.
Naya menganggukan kepalanya sebagai sebuah jawaban. “Permisi, Kak. Kalau gitu saya balik ke kelas dulu,”  ujar Naya sambil berjalan ke luar.
“Kak. Handuknya ini gimana?” tanya Naya takut.
“Lo bawa aja dulu,” jawab Dion datar.
“Sekali lagi makasih, Kak,” ucap Naya tulus. Naya lalu meneruskan langkahnya menuju kelas. Dion menganggukkan kepalanya dan juga langsung berbalik menuju kelasnya.
***
“Nay, lo tadi dari mana?” tanya Kafka saat mereka berdua sedang menuju parkiran.
“Dari toilet,” jawab Naya sambil tersenyum.
Kafka mengerutkan keningnya. “Selama itu?” tanyanya heran.
“Iya. Tadi toilet lagi ramai-ramainya, Kaf,” jelas Naya asal. Kafka tidak meneruskan untuk bertanya lebih lanjut lagi, walaupun jawaban Naya barusan terdengar tidak masuk di akal baginya.
“Nay, gue buat PR bahasa Jepang di rumah lo, ya,” kata Kafka saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Iya,” jawab Naya. “Tapi Kaf, temanin gue sampai malam, ya.” sambung Naya lagi.
“Nyokap-bokap lo balik malam lagi hari ini?” tanya Kafka. Naya memilih tidak menjawab.
***
Kafka dan Naya duduk di balkon kamar Naya dalam diam setelah selesai mengerjakan PR bahasa Jepang.
“Kaf, mau es krim nggak?” tawar Naya akhirnya seraya bangkit dari duduknya.
“Boleh,” jawab Kafka. Naya langsung berjalan ke luar kamar. Kafka mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan menuruni anak tangga.
Kafka duduk di pantry sementara Naya menyekup es krim ke dalam mangkuk kecil untuk mereka berdua. Kafka hanya mengamati Naya lewat sorot mata coklatnya. Naya ikut duduk di pantry tepat di sebelah Kafka. Ia meletakkan satu mangkuk es krim di depan Kafka.
“Dimakan, Kaf,” ujar Naya. Kafka langsung menyuap es krimnya.
Naya kemudian bangkit dan menghidupkan teve di ruang tamu. Kafka mengikutinya dari belakang. Mereka kini duduk di sofa panjang sambil menyantap es krimnya masing-masing. Kafka mengambil remote teve dan menggantinya acak hingga berhenti di channel Fox Movies Premium. Miley Cyrus sedang beradu akting dengan Liam Hemsworth dalam film The Last Song.
“Kaf, gantilah,” pinta Naya saat Kafka memberhentikan channel di Fox Movies.
“Kenapa?” tanya Kafka.
“Filmnya terlalu sedih,” jawab Naya seadanya.
“Oke,” kata Kafka tanpa banyak tanya.
Akhirnya Kafka memilih menggantinya dengan film Due Date yang dibintangi Robert Downey Jr. di channel HBO. Film komedi yang satu ini selalu sukses membuat penontonnya tertawa puas.
Kafka tidak henti-hentinya tertawa sampai terbatuk-batuk sendiri. Naya yang awalnya menilai film ini biasa saja juga ikut tertawa. Tak lama kemudian, ia bangkit dan berjalan ke dapur mengambil minum untuk mereka berdua. Naya menuangkan coke ke dalam dua gelas di hadapannya. Ia menyentuh bibir atasnya saat menyadari sesuatu yang hangat keluar dari hidungnya.
Naya meletakkan gelas yang tadi ingin dibawanya di meja dekat pantry. Ia membuka keran westafel dan berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya. Ia menekan bagian atas hidungnya agar menghentikan pendarahan kecil itu.
“Nay,” panggil Kafka dari ruang tamu.
“Iya, ntar,” jawab Naya gugup. Selang beberapa menit kemudian, aliran darah dari hidungnya telah berhenti. Ia mengembuskan napas lega. Naya menyumbat hidungnya beberapa saat untuk memastikan aliran darahnya benar-benar sudah berhenti.
Ia kemudian berjalan menghampiri Kafka di ruang tamu sambil membawa dua gelas minuman. “Due Date-nya mana?” tanya Naya dengan heran.
“Udah habis,” jawab Kafka.
“Minum, Kaf,” ujar Naya. Kafka menyesap coke-nya hingga tandas.
“Cerita komedi malah buat haus banget.” Kata Kafka. “Nay, beli nasi goreng yuk. Lapar!” ajak Kafka.
“Di mana?”
“Di jalan Tandean sana. Katanya nasi goreng tempat yang baru buka itu enak banget. Yuk lah,”
“Iya iya,”
***
Naya menyantap nasi gorengnya dengan lahap, tak kalah lahap dari Kafka. “Bener kan kata gue,” komentar Kafka. “The best banget nih nasi gorengnya,”.
“Iya, kebetulan gue juga lagi laper,” seru Naya. Mereka memilih menyantap nasi gorengnya dengan takeaway di rumah Naya.
Setengah jam kemudian, Kafka pamit pulang. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. “Nay, gue balik dulu, ya,” kata Kafka. Naya menganggukkan kepalanya.
“Lo nggak pa-pa, kan?”  tanya Kafka.
“Iya nggak pa-pa. Memangnya gue kenapa? Paling ntar lagi nyokap gue juga balik,” jawab Naya saat mengantar Kafka ke luar.
“Oke, gue balik dulu, Nay,” ujar Kafka.
***
“Ah, elo, Kak! Ngagetin aja,” kata Kafka sambil membuang napas sebal saat melihat kakaknya secara tiba-tiba muncul di kamarnya.
“Lebay!” ujar Vina, Kakak Kafka.
“Ini lo sama Naya, ya?” tanya Vina saat melihat foto yang tergeletak di atas meja belajar Kafka.
“Masa lo lupa. Ya iyalah,” jawab Kafka sekenanya.
“Kan gue udah lama nggak lihat Naya. Maklum aja kali. Terakhir gue ketemu kan pas kalian masih SMP. Makanya, ajak Naya sekali-kali main ke sini,” ujar kakaknya.
“Kak, hampir tiap minggu, gue juga sering ngajak Naya main ke sini. Cuma pas tiap Naya datang, lo aja yang nggak ada di rumah,” terang Kafka. Vina hanya menganggukkan kepalanya.
“Cantik, ya,” komentar Vina sambil menatap foto di tangannya.
Kafka hanya menolehkan kepalanya dan mengangkat sebelah alisnya. “Siapa?” tanya Kafka.
“Ya Naya, lah! Lo mau gue bilang cantik?” ujar Vina. Kafka tidak menyahuti dan memilih diam.
“Memang,” jawab Kafka singkat akhirnya. Vina mengamati perubahan wajah Kafka.
“Lo suka Naya, Kaf?” tanya Vina meyelidiki.
“Apaan sih lo, Kak. Ya enggaklah. Dia kan sahabat gue,” jelas Kafka.
Vina mencibir adik laki-laki satu-satunya ini. “Ya nggak ada salahnya juga kali suka sama sahabat sendiri,” ujar Vina. Kafka terdiam.
“Aduh, keluar deh lo, Kak. Gue mau tidur,” kata Kafka pada kakaknya.
“Yeee ngusir nih ceritanya? Adik macam apa ini?” ujar Vina seraya melangkah ke luar kamar dengan santainya.
“Berisik!” ujar Kafka sambil melempar bantal ke Vina, namun meleset karena pintu kamarnya telah tertutup kembali.
Kafka merapikan kembali fotonya dan Naya di meja. Ia mengamati foto itu sejenak. Gue kenapa sih? pikirnya. Ia kemudian mematikan lampu kamarnya dan memilih memejamkan matanya.
***
Naya menggenggam handuk kecil milik Dion di tangannya. Ia menunggu Dion di pinggir lapangan hingga cowok itu selesai bermain basket bersama teman-temannya. Beberapa menit kemudian, Dion terlihat menghampiri dirinya.
“Ada apa?” tanya Dion.
“Ini handuknya, Kak. Makasih untuk kemarin,” ujar Naya sambil menyerahkan handuk kecil berwarna merah tersebut. Dion menerima uluran handuk dari tangan Naya.
“Keadaan lo gimana?” tanya Dion.
“Udah baikan, Kak,” jawab Naya.
“Kalau gitu, saya pulang dulu, Kak,” ujar Naya sambil berbalik. Dion tidak menyahutinya melainkan hanya menganggukkan kepalanya. Dion kemudian mengambil tas kecil Adidas-nya di pinggir lapangan.
***
Waktu berdetak cepat dalam hitungan detik yang berubah menjadi menit dan berlalu seketika dalam hitungan jam. Tidak terasa sebentar lagi seluruh siswa akan disibukkan dengan ujian semester genap. Tugas-tugas pun semakin sering diberikan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada lagi waktu luang untuk bersantai seperti biasanya. Semua siswa harus melakukan yang terbaik untuk menjadi best of the best.
Kafka sedang mengerjakan soal-soal kimia yang ada di buku cetaknya saat ia melirik Naya di sampingnya yang masih serius berkutat menyelesaikan speech text-nya untuk speech contest antar sekolah yang diselenggarakan untuk memperingati hari Pendidikan Nasional.
“Belum selesai?” tanya Kafka.
Naya menggeleng pelan. “Cuma tinggal editing,” jawabnya masih terfokus pada laptop di depannya.
“Judul speech-nya apa?” tanya Kafka lagi.
Naya mengalihkan pandangannya sejenak dari layar laptop ke Kafka. “The Untold Story of Education in Indonesia,” jawab Naya melafalkannya.
“Pasti menang nih,” ujar Kafka bersemangat.
“Belum tentu,” ujar Naya. “Jangan berekspektasi terlalu tinggi, Kaf,” sambung Naya lagi.
“Berharap tidak ada salahnya,” jawab Kafka cuek sambil  mengangkat bahu.
***
Suasana kelas pagi ini terlihat sibuk dengan aktivitasnya seperti biasa. Tampak lingkaran di sudut ruangan yang terdiri dari enam hingga tujuh orang siswa gegap gempita menyalin PR yang harus dikumpulkan hari ini juga.
Naya baru meletakkan tasnya di kursi di ikuti Kafka yang berjalan di belakangnya saat Deva, teman sekelasnya datang menghampiri.
“Nay, pinjem PR bahasa Jepang lo dong. Please!” kata Deva dengan wajah memelas.
“Tapi, Dev, gue juga nggak terlalu yakin sama partikel Jepang yang gue buat,” ujar Naya.
Deva tetap keukeuh. “Nggak pa-pa! Ya?” desak Deva lagi. Naya akhirnya mengeluarkan buku PR bahasa Jepangnya. Deva langsung mengambilnya dan balik ke tempat duduknya untuk bergegas menyalinnya.
“Selain PR bahasa Jepang, ada yang lain lagi nggak, Nay?”
“Kimia,” jawab Naya singkat.
Kafka membulatkan matanya. “Hah, tentang apa?!” tanyanya panik.
“Tentang tata nama penamaan senyawa alkana,” jelas Naya.
Darn! Gue lupa!” Kafka langsung mengeluarkan buku kimianya.
Kafka langsung mengerjakan PR kimia tentang penamaan senyawa alkana tersebut. “Nay, kalau rumus molekulnya C7H16 namanya apa?” tanya Kafka sambil mengetukkan jarinya di meja.
“Heptana,” jawab Naya singkat.
Thanks!” ujar Kafka. “By the way, lo lagi ngafalin apa sih?” tanya Kafka sambil terus menulis. Ia mendengar Naya sedang melafalkan sesuatu.
“Teks pidato,” jawab Naya. Kafka hanya menganggukkan kepala.
***
Pak Frans, guru fisika sedang menjelaskan tentang gelombang elektromagnetik saat terdengar ketukan pintu. Seisi kelas kompak langsung mengarahkan pandangannya ke pintu masuk di depan kelas. Dion, langsung menghampiri Pak Frans dan terlihat sedang berbicara sesuatu.
Pak Frans berdeham sebelum mengatakan, “Naya, kamu mau lomba pidato, kan?” Seluruh mata langsung tertuju pada Naya.
“Iya, Pak,” jawabnya sopan.
“Baiklah, kamu boleh keluar untuk bersiap-siap,” ujar Pak Frans. “Silakan,” lanjutnya lagi.
Naya berjalan ke depan dan berpamitan kepada Pak Frans. “Makasih, Pak,” ujar Naya.
“Pak, kalau gitu saya permisi dulu,” ujar Dion.
“Oh iya. Nay, semoga menang lombanya ya, Nak,” ujar Pak Frans menyemangati. Naya tersenyum membalasnya. “Makasih, Pak,”
Dion dan Naya berjalan bersisian di sepanjang koridor sekolah. Mereka sebagai perwakilan dari SMA Regina Pacis akan mengikuti lomba speech contest antar sekolah.
Dion melirik adik kelasnya. “Nggak usah nervous,” ujarnya santai.
I’m not,” jawab Naya berusaha sesantai mungkin. tak lama kemudian, Bu Dian, yang akan mendampingi mereka berdua selama lomba muncul dari belakang.
Are you ready, guys?” tanya Bu Dian semangat kepada Naya dan Dion.
Yes, ma’am!” jawab Dion yang diikuti gerakan anggukan kepala dari Naya.
30 menit kemudian mereka sampai di gedung Seni dan Budaya tempat di mana diselenggarakannya speech contest tersebut. Terlihat puluhan siswa lainnya juga memadati gedung ini dan bersiap untuk mewakili sekolahnya masing-masing. Naya melihat text-nya sekali lagi. Dion yang duduk di sampingnya langsung menarik kertas tersebut.
“Udah, nggak usah dibaca lagi. Lo pasti bisa,” ujar Dion cuek sambil memasukkan kertas milik Naya tersebut ke dalam sakunya. Naya hanya pasrah. Lima belas menit kemudian, speech contest itu pun dimulai.
Naya memerhatikan peserta dari SMA lain yang sedang maju ke depan. Tiba-tiba, rasa percaya dirinya hilang. Dion melirik adik kelasnya ini. “Jangan nervous,” ingat Dion lagi. Naya menarik napasnya dan langsung mengembuskannya seketika. Tak lama itu, namanya dipanggil. Ia dipersilakan untuk segera naik ke atas podium. Naya berusaha mengumpulkan kepercayaan dirinya dengan bersusah payah. “Good luck!” kata Dion memberi dukungan. Bu Dian pun juga melakukan hal yang sama.
Naya berdiri tegap di atas podium. Ia mengambil napas perlahan lalu mengembuskannya dengan pelan. Ia akhirnya bisa menguasai podium. Semua yang hadir menyimaknya dengan saksama. Naya menyampaikan isi pidatonya dengan penuh percaya diri.
“I will quote a wise expression: “Education is the key to unlock the golden door of freedom”. This expression reminds us how importance of education for human life is.” ujar Naya yang menyampaikan isi pidatonya dengan lantang.
I think, it’s completely enough for me to this point. The wrong utterances are caused by limitation of my ability and the right one is merely from God. So, I beg your pardon, finally I say,” tutup Naya dengan tersenyum yang sekaligus menandakan akhir dari pidatonya. Semua hadirin bertepuk tangan dengan kagum.
Naya kembali ke tempat duduknya. “Bravo!” seru Dion senang.
Good job, Nay,” kata Bu Dian sambil tersenyum lebar.
“Makasih, Bu,” jawab Naya yang tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Tak lama setelahnya, tibalah saat Dion untuk menyampaikan isi pidatonya di hadapan para hadirin. Naya mengamatinya dari sudut matanya. Dion terlihat melangkah menuju podium dengan percaya diri yang tinggi. Tak heran jika mengingat, Dion sudah sering memenangkan perlombaan speech semacam ini sebelumnya. Dion menyampaikan pidatonya dengan lancar. Hadirin pun mengapresiasikannya dengan tepuk tangan yang meriah.
We did good!” seru Dion saat kembali duduk di samping Naya. Naya tersenyum mendengarnya.
Naya percaya bahwa ia telah melakukan yang terbaik. “Yes, of course!” jawab Naya tersenyum lebar.
***
“Traktir!” seru Wina riang kepada Naya.
“Iya,” jawab Naya sambil tertawa melihat tingkah Wina.
“Cieee yang menang speech contest,” kata Wina lagi.
Naya bersungut. “Ah, Win. Jangan berlebihan,” kata Naya merendah.
That’s a fact, darling!” seru Wina lagi.
“Lumayan,” seru Kafka dari belakang. Naya dan Wina tertawa bersama-sama.
Tiba-tiba, Deva muncul dan bergabung bersama mereka. “Hey, man! Gue juga ditraktir kan ini?” tanya Deva mengerling jahil. Naya menatap ke arah Deva dengan pandangan serius.
“Gimana ya?” tanya Naya pura-pura bingung. Naya melihat perubahan di wajah Deva. “Haha, iya iya. Pastilah. Tenang aja lagi,” jawab Naya.
Mereka berjalan menuju kantin dan serentak memesan empat mangkuk bakso dan empat lemon tea dingin.
***
“Kenapa?” tanya Kafka saat Naya memberitahunya bahwa hari ini ia tidak bisa pulang dengannya.
“Kak Dion mau ngajakin jalan,” terang Naya.
“Jalan?” tanya Kafka heran dengan nada sedikit meninggi.
“Sejak kapan kamu dekat sama dia?” tanya Kafka dingin.
“Kaf, dia cuma ngajakin jalan biasa. Just to celebrate for that speech contest. That’s it,” terang Naya. Kafka hanya diam. Naya menunggunya hingga beberapa saat.
“Ya udah,” jawab Kafka akhirnya meninggalkan Naya.
Naya menatapnya tidak percaya. Kafka kenapa sih? Naya membatin bingung.
***
Naya dan Dion duduk di sebuah cozy café yang menyajikan berbagai panganan yang terbuat dari cokelat. Mereka berdua memesan marshmallows bakar berbalut selai cokelat.
Cheers?” tanya Dion sambil mengangkat gelasnya.
Sure!” seru Naya dan kemudian melakukan hal yang sama.
Mereka menyantap marshmallows-nya dengan lahap. Sesekali mereka mendiskusikan hal-hal yang bersifat umum sampai kemudian, “Masih sering mimisan?” tanyanya setelah melahap habis marshmallows-nya.
“Sesekali,” jawab Naya. Dion mengamati Naya lekat-lekat untuk beberapa saat.
Why?” tanya Naya yang merasa heran dengan sikap Dion.
“Nothing,” jawab Dion. “Besok ada acara?” tanya Dion lagi.
“Enggak. Ada apa?” tanya Naya.
“Cuma mau ngajakin jalan aja,” kata Dion sambil mengangkat bahu.
Naya mengerutkan keningnya. “Again?” tanya Naya sambil menyunggingkan senyumnya.
“Why not?” Dion berujar dengan cueknya. “So?” tanyanya lagi.
Naya tertawa renyah. “Okay,”  jawabnya sambil tersenyum lebar.
***
“Yuk, Nay,” kata Kafka saat bel pulang berbunyi.
Naya menggigit bibir bawahnya. “Kaf, sorry. Hari ini gue nggak bisa ikut pulang bareng,” jelas Naya akhirnya.
“Kenapa lagi?” tanya Kafka dingin dan datar.
Naya memberanikan diri. “Ada janji,” jawabnya.
“Penting?” tanya Kafka masih dengan intonasi yang sama. “Sama siapa?” lanjutnya lagi.
 “Dion,” jawab Naya dengan sedikit rasa bersalah.
Kafka hanya tersenyum datar. “Oke,” katanya sambil berlalu meninggalkan Naya yang masih berdiri termangu.
***
Kafka membuka garasi rumahnya dan setelahnya langsung berlari ke kamar. Ia membanting pintu kamarnya kuat. Matanya memerah. Ia mengambil lembaran fotonya dengan Naya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Kafka menggenggamnya satu dan meremas erat-erat foto itu di kepalan tangannya, lalu melemparkan ke ujung ruangan.
Pantaskan ia marah? Pantaskah ia benci melihat sahabatnya dekat dengan orang lain? Pantaskah? Kafka akhirnya menyadari bukan permasalahan pantas atau tidaknya. Tapi, perasaan sayang lebih dari seorang sahabat yang ia miliki untuk Naya. Kafka bergulat dengan pikirannya sendiri.
***
Naya dan Dion berjalan menuju parkiran setelahnya keluar dari restoran Jepang tersebut. Dion membukakan pintu untuk Naya setelah itu berjalan ke seberang dan duduk di kemudinya. Naya mengamati Dion yang memegang kemudi setir namun masih juga belum menyalakan mesin. Dion menatap Naya lekat untuk beberapa saat.
Naya menahan tawanya. “Stop it. What’s up?” tanya Naya yang merasa aneh ditatapi Dion seperti itu. Dion hanya mengangkat bahu seperti biasanya.
Ia kemudian berbalik mengambil sesuatu di jok belakang. “For you,” kata Dion singkat sambil menyerahkan boneka beruang putih besar. Naya tidak bisa menahan senyumnya. Ia hanya menatap pemberian Dion itu untuk beberapa saat.
“Nggak suka ya?” tanya Dion. “Maaf kalau bonekanya nggak dibungkus rapi dalam kotak atau plastik seperti seharusnya. I don’t know how it feels so cheesy. I don’t know how to be romantic. I’m pretty dumb in love,” pengakuan itu meluncur begitu saja dari mulut Dion.
In love?” tanya Naya yang tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.
Ya, I’m in love. I’m in love with you. Darn! This is so cheesy. But, I’m truly deeply in love with you, Naya,aku Dion akhirnya.
Would you be my special friend? You know, I don’t like to call it girlfriend. But I really meant it. Would you?” tanya Dion sambil menatap Naya.
I can’t answer right now. Give me just a little more time, please,” kata Naya masih terlihat kaget.
“Pleasure. Take as long as you need,” jawab Dion sambil tersenyum kepada Naya. Ia lega telah mengungkapkan semuanya. Setelah itu, sedan hitamnya meluncur meninggalkan restoran Jepang tersebut.
***
Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan perasaan yang campur aduk. Ia mencoba mengingat segala hal yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti bagaimana perasaannya saat Dion mengatakan terus terang tentang semua itu. Perasaannya, jika harus jujur, ia hanya menganggap Dion sebagai kakak kelas sekaligus temannya. Tidak lebih. Apa yang harus ia lakukan pada saat ini? Ia ingin bercerita semuanya kepada Kafka. Tapi, niat itu ia urungkan saat mengingat sikap Kafka yang dingin padanya akhir-akhir ini.
Naya tidak peduli. Ia memberanikan diri menelepon Kafka. Naya menunggunya hingga beberapa saat. Masih belum ada jawaban. Tidak biasanya. Hingga akhirnya, Naya membuang napas lega saat telepon di seberang sana dijawab.
Kaf,” buka Naya.
“Ya?” jawab Kafka di seberang dengan suara serak.
“Kaf, gue mau minta maaf,” ujar Naya akhirnya.
“Minta maaf? Karena apa?” tanya Kafka dengan nada tercekat.
“Gue udah buat lo marah. Kaf, gue mohon. Maafin gue. Akhir-akhir ini lo jadi pulang sendiri,” ujar Naya.
Lo cuma mau minta maaf soal itu?” tanya Kafka sinis. “Gue lebih baik pulang sendiri daripada sama lo!” lanjut Kafka lagi dingin dan menusuk.
Naya terpaku di tempatnya. Ia mengusap airmata yang keluar dari sudut mata dengan punggung tangannya. Kafka mengatakannya. Kata-kata itu tajam menghunus menyisakan kepedihan.
Nay, gue nggak maksud ngomong gitu. Nay, lo dengerin gue dulu. Lo tahu nggak sih gue tuh sayang sama lo! Gue suka sama lo, Nay!!” Kafka mengatakan yang sebenarnya. Kafka benar-benar mengatakannya.
Naya terpaku diam dengan genangan airmatanya yang seakan tidak cukup untuk menangisi semuanya. Kafka menyukainya? Kafka? Kenapa harus Kafka? Kenapa ia mengatakannya setelah menyakitinya seperti itu? Naya menahan isakannya.
“Gue juga sayang sama lo, Kaf,” Naya akhirnya mengakui. “Dang! I just realised that!” lanjut Naya lagi sambil terisak.
Kafka langsung memutuskan sambungan telepon. Ia segera bergegas menuju rumah Naya. Tak butuh waktu lama untuk tiba di sana. Kafka mengetuk pintu depan rumah Naya dengan tidak sabaran. Ia menyentuh gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Kafka langsung segera masuk dan naik ke atas menuju kamar Naya. Ia mendapati Naya sedang terisak di sudut kamar dengan menenggelamkan mukanya di kedua telapak tangannya. Kafka memeluknya erat. Kafka tidak mampu berkata-kata. Ia mengeratkan pelukannya dan membiarkan Naya menangis dalam dekapannya. Kafka menengadahkan muka Naya saat dirasakannya sesuatu yang hangat membasahi dadanya. Bukan. Itu bukan sekadar airmata. Kafka terpaku kaget saat menyadari itu merupakan darah segar yang mengalir dari hidung Naya. “Nay!” guncang Kafka saat melihat Naya yang sudah tidak sadarkan diri.
“Nay!!”guncang Kafka sekali lagi. “Naya!!” jerit Kafka. “Nay, bangun, Nay!!” teriak Kafka frustasi.
“NAAAAAYYYY!!” teriak Kafka tanpa bisa membendung airmatanya.
***
Kafka menguatkan dirinya menghadiri upacara pemakaman Naya. Matanya memerah. Airmata ini belum kering juga. Ia memandang kosong ke depan. Ia baru mengetahui bahwa selama ini Naya mengidap kanker nasofaring yang telah lama dideritanya. Kanker yang telah mencapai stadium akhir itu akhirnya merenggut Naya. Mimisan yang berulang kali selama ini semakin memperburuk kondisinya.
Kedua orangtua Naya terlihat tak mampu lagi mengeluarkan airmatanya. Mereka terlihat sangat terpukul dengan semua ini. Seluruh teman-teman Naya juga terlihat menangisi kepergiannya. Dion, ikut berdiri bersama ratusan pelayat lainnya mengantar kepergian Naya. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaanya pada saat ini. Semua ini terlalu mengejutkan. Tapi, ia sadar. Tak ada yang bisa menghindari takdir. Tak ada yang bisa mengubah skenario yang dibuat-Nya. Dion yang sudah berusaha sekuat tenaga menahan airmatanya akhirnya menyerah.
Saat semua pelayat telah pergi, Kafka tetap bersikeras untuk tetap tinggal di situ. Ia menatap nisan Naya dengan tatapan tidak percaya. Vina berusaha membujuk adik sematawayangnya itu.
“Kaf, ikhlasin,” bujuk Vina. Sudut mata Kafka masih terus meneteskan airmata. Hingga akhirnya ia menyerah dan memilih mengikhlaskan kepergian sahabat sekaligus cinta pertamanya itu.