Applause untuk pengarangnyaaaaaa.......
ceritanya menyentuhhhh......
DEAR
NAYA
Naya memerhatikan
penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seems awkward. Ia
tersenyum geli melihat dirinya sendiri di cermin pada pagi hari ini. Rambut
panjangnya yang biasa tergerai kini harus dikepang menjadi enam belas bagian.
Kalung liontin putih yang biasa dikenakannya pun kini harus berganti dengan
kalung-kalungan dari tali rafia yang terdiri dari tiga warna; merah, kuning,
dan hijau. Gelang dari sabut kelapa berwarna coklat tua juga terlihat menghiasi
pergelangan tangan kirinya. Tak hanya itu, kaus kaki panjang selutut berwarna
merah yang dikenakannya juga terlihat tak kalah aneh dari atribut-atribut yang
harus dikenakan lainnya. Terakhir, topi caping seperti petani tak lupa ia
letakkan di atas kepalanya. Ia bercermin sekali lagi. Tak apa lah, MOS ini
hanya akan berlangsung tiga hari, pikirnya. Naya bergegas mengambil tas
Converse hitamnya, sebelum kemudian keluar kamar dan berlari kecil menuruni
anak tangga.
Di bawah, kedua
orangtuanya telah menunggunya di meja makan untuk sarapan bersama. Naya
mengambil roti selai blueberry yang disiapkan mamanya tanpa banyak
bicara. Ia memakannya dalam diam. Tiba-tiba, HP di sakunya bergetar.
Nay, gue
udah di luar. Cepatan, ntar telat!
Setelah membaca
pesan singkat tersebut, Naya segera berpamitan pada orangtuanya untuk berangkat
sekolah. Ia menyalami tangan kedua orangtuanya yang tidak berkata apa-apa pada
pagi ini.
“Ma, Pa, Naya
berangkat dulu ya,” pamitnya sambil berjalan ke luar. Kedua orangtuanya hanya
diam. Tak lama kemudian, “Nay, hati-hati ya, Nak,” ucap mamanya pada akhirnya.
Naya menganggukkan kepalanya.
“Yuk, berangkat!”
Naya berkata pada Kafka yang telah menunggunya di luar dengan muka ditekuk.
Naya menghela napas.
“Yeee, marah. Nggak seru banget!” ledeknya.
“Habisan lo lama
banget sih! Ntar kalau kita telat gimana? Jadi makanannya para senior ntar.”
Kafka, sahabatnya yang satu ini tetap ngomel. Naya hanya mendengakannya dalam
diam.
“Kenapa diam?” tanya
Kafka setelah selesai ngomel panjang lebar.
“Lagi mikir.
Kira-kira, dalam sembilan menit bisa nyampai ke sekolah nggak ya?” tanya Naya
yang kemudian menyadarkan Kafka akan sesuatu.
“Hah!Kenapa lo nggak
bilang dari tadi. Kalau gini ceritanya kita bisa telat!! Cepatan naik!”
perintah Kafka seketika.
“Yuk, jalan!” ujar
Naya setelah naik ke sadel sepedanya Kafka. Tanpa membuang waktu lagi, Kafka
segera mengayuh sepeda sekuat-kuatnya. Naya menahan tawa di belakang. Siapa
suruh ngomel-ngomel gitu, ujarnya dalam hati. Dari SMP dulu, Naya juga
selalu pergi berangkat dan pulang sekolah bersama Kafka. Sahabatnya dari kecil
ini, walaupun seperti itu, tapi sebenarnya ia orangnya baik. Sangat baik
malahan. Naya melihat jam di pergelangan tangannya. 06:57. Tiga menit lagi bel
masuk berbunyi. Ia jadi mulai was-was. Terlambat di hari pertama masuk SMA
samasekali bukan ide yang bagus. Tapi mau bagaimana lagi. Naya hanya pasrah.
Kemungkinan besar mereka pasti telat.
Kafka tetap mengayuh
sepedanya. “Nay, udah jam berapa?” tanya Kafka sedikit berteriak kepada Naya.
“Udah cepat. Kayuh yang kuat! Nggak usah banyak tanya,” jawab Naya kalem.
Lebih baik Kafka berkosentrasi untuk tetap terus mengayuh.
8 menit kemudian,
mereka tiba di depan SMA Regina Pacis. Kafka segera memarkirkan sepedanya di
tempat khusus sepeda. Setelah itu, ia berjalan menuju pagar hitam sekolah yang
tertutup rapat. Seorang penjaga sekolah menghampiri mereka berdua yang berdiri
di luar pagar. Naya hanya bersembunyi di balik badan Kafka. Ia sedikit takut
sebenarnya.
“Pak, maaf. Kami
telat,” ujar Kafka memberanikan diri.
Penampilan penjaga
sekolah itu terlihat seram dengan kumis hitam tebalnya. Ia sepertinya ingin
menumpahkan lahar amarahnya saat ini juga. Ia masih diam memerhatikan Kafka dan
menelitinya dari atas hingga bawah.
Naya menahan napas
pasrah. “Sampeyan siswa baru takye?” tanya bapak itu dengan logat khas Madura
yang kental. Seketika tawa Naya hampir meledak mendengarnya. Ia menutup
mulutnya dengan tangan kanannya untuk menahan tawa. Ia mendengar samar-samar.
“Nay, diem lo!”
pinta Kafka dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Naya menganggukkan
kepalanya sambil berusaha kuat menahan tawanya agar tidak meledak. Tampang
boleh seram kayak Freddy Krueger, tapi ternyata Madura asli takye, Naya
bermonolog dengan dirinya sambil menahan tawa.
“Iya, Pak,” jawab
Kafka akhirnya. Dari name tag yang melekat di seragamnya, Kafka
mengetahui namanya adalah Pak Didi. Beliau menganggukkan kepalanya.
“Jadi, kami boleh
masuk, Pak?” tanya Kafka harap-harap cemas.
“Ya sudah. Sampeyan
boleh masuk. Tapi besok-besok jangan sampai terlambat lagi takye,” Pak Didi
mengingati sambil membuka pagar hitam tersebut. Naya mengikuti Kafka di
belakang. Ia mengembuskan napas lega.
Setibanya di koridor
sekolah, Naya mencoba memerhatikan penampilannya sekali lagi. Sepertinya ada
yang kurang. Ia berusaha mengingat-ingat lagi. Apa ya? pikirnya. Naya
menarik tangan Kafka yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.
Kafka membalikkan
badannya. “Aduh, Nay. Apa lagi sih? Ntar kita telat!” tanya Kafka kesal sambil
memerhatikan kerumunan siswa baru yang sedang berbaris di lapangan.
“Memang udah telat!”
dengus Naya tak kalah kesalnya.
Kafka menatapnya tak
percaya. “Apa lagi sekarang, Nay?” tanya Kafka frustasi.
Naya menggigit bibir
bawahnya. Senewen. “Kayaknya atribut MOS gue ada yang kurang deh, Kaf,” kata
Naya.
Kafka mengamati
sahabatnya yang berdiri di depannya ini dari atas ke bawah. Lengkap gini
atributnya dibilang kurang, Kafka membatin.
“Nggak ada kok, Nay.
Tenang aja deh,” ujar Kafka sambil menarik tangan Naya dan segera bergegas ke
lapangan.
Tak lama kemudian,
kepala sekolah memimpin upacara pembukaan MOS yang berjalan dengan tertib.
Matahari menyinari dengan panasnya yang meyengat. Naya menyeka peluh di
keningnya dengan punggung tangannya. Satu jam pun berlalu. Naya mengembuskan
napas lega saat upacara ini selesai. Akhirnya, pikirnya. Ia segera
menghampiri Kafka yang berada tak jauh darinya.
“Kaf Kaf!” seru Naya
sambil tesenyum lebar. Ia duduk di samping sahabatanya itu. Kafka tidak
menyahuti. Naya memerhatikan wajah Kafka. Pucat, pikirnya khawatir.
Naya menyentuh kening Kafka yang ternyata sangat panas.
“Kaf, lo sakit?”
tanya Naya tulus khawatir.
Kafka menggeleng
lemah, membuat Naya semakin khawatir.
“Kaf, gue serius. Lo
belum sarapan, ya?” tanya Naya sekali lagi.
“Nay, gue nggak
pa-pa,” jawab Kafka lemah.
“Nggak pa-pa artinya
ada apa-apa, Kaf! Pasti tadi nggak sarapan,” omel Naya.
“Kelas yuk, Nay,”
ajak Kafka lemah nyaris berbisik.
Naya menuruti
permintaan Kafka. Sesampainya di kelas, Naya memilih duduk bersebelahan dengan
Kafka di bangku di deretan ketiga dari depan. Suasana kelas terlihat
ingar-bingar. Ada yang sedang sibuk berkenalan satu sama lain, ada yang sibuk
membetulkan atribut MOS-nya, hingga Naya menyadari sesuatu setelah melihat
sekelilingnya.
“Kaf, gue lupa bawa
papan nama!” bisik Naya pada Kafka.
Kafka hanya
mengangguk. Naya mulai resah sendiri. “Kaf!” panggil Naya lagi.
Kafka menolehkan
kepalanya, dan menatap Naya heran. “Gue lupa bawa papan nama. Gimana ini?”
tanya Naya dengan raut wajah takut. Kalau dihukum gimana ini? batinnya
kalut.
“Ya udah. Nggak
pa-pa,” jawab Kafka menenangkan.
“Lo bawa papan nama
nggak?” tanya Naya yang berharap Kafka menjawab tidak.
Kafka menganggukkan
kepalanya lemah. “Aduh! Mati gue!” kata Naya sambil menepuk keningnya. Tak lama
kemudian, terlihat tiga orang senior memasuki kelas.
“Selamat pagi,
adik-adik semuanya,” sapa senior yang sekarang sudah berdiri di depan kelas.
“Selamat pagi, Kak,
“ jawab mereka kompak.
“Nama saya Citra.
Kalian bisa panggil saya Kak Citra. Selama MOS tiga hari ke depan, saya dan
bersama dua rekan sayalah yang akan membina kalian di kelas sepuluh-1 ini.
Mengerti semuanya?”
Lagi-lagi mereka
menjawab kompak. “Mengerti, Kak.”
“Dua rekan saya ini,
dari sebelah kiri, namanya Kak Dea, dan di sebelah Kak Dea adalah Kak Dion.”
Naya mengamati
kakak-kakak seniornya ini. Ia dapat mengambil kesimpulan, Kak Citra, sepertinya
orangnya sangat ramah. Kak Dea, menurutnya, terkesan ingin menampakkan
kesenioritasannya. Sedangkan Kak Dion, sepertinya orangnya tidak terlalu peduli
dengan keadaan sekitarnya dan terkesan cuek.
“Baiklah, pertama,
saya akan memeriksa kelengkapan atribut MOS kalian,” ujar Citra. Bersama kedua
rekannya, ia mulai memeriksa kelengkapan atribut MOS yang ada.
“Kaf, gimana ini?
Gue takut,” bisik Naya pasrah.
“Udah nggak pa-pa,”
ujar Kafka yang masih lemah.
“Papan nama lo
mana?” tanya Naya.
“Di tas,” jawab
Kafka.
Tak lama itu,
tibalah Dion berdiri di depan meja mereka. Ia memeriksa kelengkapan Naya
terlebih dahulu. Naya menggigit bibir bawahnya. “Papan namanya mana?” tanya
Dion dingin. Tuh kan! Naya membatin pasrah.
“Saya lupa, Kak.”
jelasnya pasrah.
Dion menatapnya
dengan tatapan tidak peduli. “Lupa gimana?” tanyanya dengan suara dingin yang
menusuk.
“Maksudnya,
ketinggalan, Kak,” Naya menjawab jujur.
“Berdiri di depan,”
pinta Dion santai sambil melanjutkan memeriksa kelengkapan Kafka.
Naya akhirnya maju
ke depan kelas bersama beberapa teman lainnya yang atribut MOS-nya juga tidak
lengkap seperti dirinya. Naya mengamati Kafka dari jauh.
“So sweet ya
sama cewek kamu itu! Duduk satu meja, kasusnya sama pula. Mana papan nama
kamu?” tanya Dion dengan tatapan meledek ke arah Kafka.
“Nggak bawa dan dia
bukan cewek saya. Dia sahabat saya,” jawab Kafka singkat.
“Peduli? Maju depan
sana,” pinta Dion sinis.
Kafka melangkah
gontai maju ke depan kelas. Ia kemudian berdiri tepat di samping Naya. “Kaf!”
desis Naya.
“Apa?” tanya Kafka
ogah-ogahan
“Papan nama lo kan
di dalam tas. Kok bilang nggak bawa?” tanya Naya heran.
“Ya gue bilang aja
nggak bawa. Kenapa? Salah?” jawab Kafka dengan kesal.
Naya mendecakkan
lidahnya sebal. “Lo tuh lagi sakit. Lo mau pingsan pas kita dihukum karena perkara
ini? Balik sana! Lo kan bawa papan nama. Ngapain pura-pura nggak bawa” ujar
Naya sambil mendorong bahu Kafka.
“Apa sih, Nay! Gue
nggak sakit. Peraturannya, kalau lo dihukum, gue juga dihukum. Puas?” jelas
Kafka.
“Gue nggak minta lo
nemenin gue dihukum dodol! Peraturan apa itu!” Naya bersikeras. Naya membuang
muka dengan kesalnya. Bersama dua belas siswa lainnya, mereka mendapat hukuman
untuk membersihkan lapangan sekolah yang luasnya sepertiga dari luas halaman
Stadion Gelora Bung Karno. Di sinilah ia sekarang. Membersihkan halaman sekolah
dari dedaunan yang gugur serta sampah-sampah sisa makanan dan minuman.
Sudah hampir dua jam
mereka bahu membahu membersihkan lapangan sekolah yang luas itu dan Naya masih
belum mau berbicara dengan Kafka. Setengah jam kemudian, Naya beristirahat
sejenak dengan duduk di pinggir lapangan. Kemudian, Kafka ikut duduk di samping
Naya dalam diam. Naya berusaha menghilangkan egonya.
“Kaf,” panggil Naya
yang hanya dibalas dengan gumaman pelan oleh Kafka.
“Gue tuh cuma nggak
suka kalau lo udah keras kepala kayak gitu,” kata Naya akhirnya.
Kafka hanya diam.
Naya menolehkan kepalanya menghadap Kafka. Ia mengamati Kafka khawatir.
Wajahnya memang tidak sepucat tadi. Tapi Naya yakin, panasnya masih belum
turun. Kafka terlihat sangat lemah di tengah kondisinya saat ini.
“Masalahnya, lo itu
lagi sakit, Kaf. Ngapain bohong dengan pura-pura bilang nggak bawa papan nama.
Padahal papan nama lo ada di dalam tas.” jelas Naya masih sedikit kesal.
“Udah gue bilang gue
nggak sakit, Naf. Jangan mulai lagi deh,” desis Kafka lemah.
“Dodol! Lo tuh sakit
tapi masih aja ngeyel. Nggak perlu pakai dokter, orang awam aja tahu kalau lo
sakit. Muka pucat gitu, keukeuh lagi!” kata Naya lagi. Kafka hanya
mendengarkannya.
“Jujur sama gue, lo
tadi belum sarapan ya?” tanya Naya.
“Belum,” jawab Kafka
singkat.
“Stubborn!” maki
Naya.
“Kalau tahu gitu
tadi gue nggak mau berangkat sekolah sama lo, kalau ujung-ujungnya lo jadi
sakit gini,” omel Naya lagi. “Gue tuh cuma khawatir, Kaf!!” lanjut Naya lagi.
Kafka kemudian
menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya itu. “Nay,” Kafka menghela napas
sebelum kemudian menjelaskan semuanya. “Gue cuma nggak pengin lihat sahabat gue
dihukum. Prinsip gue, kalau lo dihukum ya gue juga. Gue nggak tega ngelihat lo
dihukum,” ujar Kafka tulus.
Naya melunak. “Iya,
Kaf. Gue ngerti. Tapi lihat kondisinya juga. Lain kali jangan lagi, ya. Gue
cuma lagi apes aja tadi, makanya sampai lupa bawa papan nama,” ujar Naya sambil
mengamati langit berwarna kelabu di atasnya. Sebentar lagi pasti hujan, Naya
membatin.
“Kaf, balik ke kelas
yuk. Ntar lagi hujan. Anak-anak yang lain juga udah pada balik ke kelas,” kata
Naya sembari bangkit dari duduknya.
“Ayo cepatan. Diri!”
pinta Naya berlagak galak.
“Nggak bisa diri
nih,” ujar Kafka. “Gue kan lagi sakit,” tambahnya lagi.
Naya mendecak
sebelum kemudian mengulurkan tangannya. “Thank you,” kata Kafka
setelah berhasil berdiri. Ia tersenyum jahil. Naya berjalan di depan Kafka. Ia
mempercepat langkahnya untuk segera kembali ke kelas. Petir sudah terlihat menyala-nyala
di atas sana. Naya memperbesar langkahnya diikuti Kafka di belakangnya. Sebuah
ide brilian terbesit di pikiran Kafka. Ia menarik tangan Naya tanpa memedulikan
berontakan Naya yang menjejalnya dengan berbagai pertanyaan.
“Kita mau ke mana?”
tanya Naya. Kafka hanya diam dan tetap menarik tangan Naya menuju tempat lain.
Bukan ke kelas, pastinya.
***
Di sinilah
mereka sekarang. Menyantap bakso di kantin di tengah derasnya hujan. Kafka
meyantap baksonya dengan lahap.
“Brilian kan ide
gue!” kata Kafka dengan mulut penuh bakso.
“Iya iya. Tapi,
kalau nanti dicari sama senior-senior itu gimana?” tanya Naya sambil kemudian
memasukkan bakso ke dalam mulutnya
“Nggak mungkin
ditanya. Bentar lagi juga pulang. Kalaupun besoknya ditanya, ah pasti nggak
mungkin,” jawab Kafka berspekulasi.
“Ambigu banget
kalimat lo,” komentar Naya sambil mengunyah baksonya.
Kafka hanya
menyeringai sambil mengangkat bahunya. “Berisik. Udah deh makan aja. Sesama
penderita lapar akut jangan ribut,” ujar Kafka yang disambut gelak tawa oleh
Naya.
“Kita balik tunggu
hujan reda aja ya, Nay,” ujar Kafka lagi.
“Sip!” jawab Naya
sambil tersenyum lebar.
***
Upacara di
tengah hari dengan panas matahari yang menyengat bukan ide yang bagus, Naya
membatin. Kepala sekolah memberikan wejangannya dengan hikmat dalam upacara
penutupan MOS kali ini. Naya mengambil tisu di sakunya kemudian menyeka
keringat di keningnya. Lapar, keluhnya.
“…. dengan ini, Masa
Orientasi Siswa yang telah berlangsung selama tiga hari, resmi saya tutup,”
bapak kepala sekolah akhirnya menyampaikan inti pokok dari upacara yang telah
berlangsung selama satu jam ini.
Naya mengembuskan
napas lega. Terlihat beberapa murid lain juga langsung mengucapkan puji syukur.
Untung nggak pakai sujud syukur segala, Naya membatin jahil.
“Yuk, balik,” ajak
Kafka.
“Oke,” seru Naya
senang.
“Ntar, Kaf. Bukain
ikatan tali rafia di belakang leher gue dong,” ujar Naya minta tolong.
Naya menundukkan
kepalanya, sementara Kafka membukakan ikatan tali rafia tersebut. Kemudian,
Naya melepas sabut kelapa yang ada di tangannya. MOS berakhir, craziest
things like this pun berakhir, pikir Naya senang.
“Yuk,” tarik Kafka
menuju parkiran.
Naya menahan
langkahnya. “Gue ke toilet dulu, ya,” ujar Naya.
Kafka menaikkan
sebelah alisnya. “Ngapain?” tanyanya heran.
“Mau ngelepasin
kepangan rambut. Cuma bentar. You know, just seems so freaking awkward with
this hair,” keluh Naya.
Kafka menahan tawa.
Benar juga. “Okay, just realised that you looks like sista of Jaden Smith,”
ujar Kafka.
Naya mengembuskan
napas kesal. “Makanya gue mau buka kepangan ini dulu,” kata Naya.
“Ya udah, gue tunggu
di parkiran sepeda ya,” jawab Kafka.
***
Naya menyisir
rambutnya yang panjang sebahu di depan cermin. Ia mengamati dirinya untuk
beberapa saat. Kemudian, ia menambahkan jepitan besar berbentuk tulang ikan
berwarna putih di atasnya. Oke sip, pikirnya. Ia berjalan menuruni
anak tangga sambil menenteng tas hitamnya. Naya melihat jam di pergelangan
tangannya yang baru menunjukkan pukul 06:30. Masih lama, batinnya.
“Dimakan, Nay,” sapa
mamanya setelah menuangkan nasi goreng ke piring di hadapannya.
“Ya, Ma,” jawab Naya
sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Pagi ini, ia melihat
ketidakhadiran papanya di meja makan. Naya menatap mamanya sejenak. Ia terlalu
takut untuk menanyakannya dan memilih tetap menyimpan pertanyaannya dalam diam.
Setelah selesai melahap sarapannya, Naya bergegas pamit kepada mamanya dan
berjalan ke luar menghampiri Kafka yang telah siap dengan sepedanya.
“Udah lama, Kaf?”
tanya Naya.
Kafka menggeleng.
“Nggak kok, barusan sampai,” jawab Kafka.
Kafka mengamati
penampilan Naya. “Kok lo rapi banget sih?” tanya Kafka heran.
“Hah?” tanya Naya
bingung. Ia lantas mengamati penampilannya. “Udah ah, ayo cepatan jalan! Ntar
telat!” ujar Naya yang sudah duduk di belakang Kafka.
Kafka pun mengayuh
sepedanya seperti biasa. “Kaf, lo pakai parfum, ya?” tanya Naya saat mereka di
jalan. Diam-diam, Naya menikmati aroma parfum Kafka.
“Apa?” tanya Kafka
balik. Ia tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Naya, barusan.
“Nggak. Nggak ada,”
elak Naya.
***
Jam pertama
pelajaran kimia berjalan dengan lancar. Bu Dian, guru pembimbing mereka, baru
sebatas memperkenalkan kembali materi tentang tabel periodik secara lebih
spesifik.
“Nay, kantin yuk,”
ajak Kafka saat jam istirahat.
“Mmhh, nggak deh,
Kaf,” tolak Naya halus.
Kafka menaikkan
sebelas alisnya seperti biasa. “Kenapa?” tanyanya.
“Stomach ache,” ujar
Naya lirih.
“Oke, mau nitip
sesuatu?” tanya Kafka lagi.
“Air mineral aja,”
jawab Naya. Kafka akhirnya pergi ke kantin bersama kedua teman lainnya.
Sedangkan Naya memilih mengobrol di dalam kelas bersama teman barunya, Wina. Ia
mengamati Wina yang sedang serius dengan buku sketsanya.
“Suka buat sketsa
dari kapan, Win?” tanya Naya.
Wina meletakkan
pensilnya sejenak. “Sejak gue SMP, Nay,” jawab Wina sambil nyengir kuda. “Cuma
iseng sih, sebenarnya,” tambahnya lagi.
Naya terseyum sambil
menganggukkan kepalanya. “Lo sama Kafka pacaran, ya?” tanya Wina penasaran.
Naya yang ditanya begitu cukup kaget untuk beberapa saat. Memang terlihat
seperti itu ya? tanyanya dalam hati.
“Hah? Ya enggaklah.
Kafka itu sahabat gue dari kecil. Dari TK malahan, hehe,” jawab Naya. Wina
tersenyum lebar.
“Kenapa? Suka Kafka,
ya?” goda Naya jahil. “Ntar gue bilang ke orangnya deh,” katanya lagi.
“Ehhh, enggak. Siapa
yang suka. Cuma nanya aja lagi,” kata Wina sambil mengangkat bahu.
“Haha, iya. Gue cuma
bercanda kali,” jawab Naya. Tak lama kemudian, Kafka datang dengan air mineral
di tangan kanannya.
“Ini,” kata Kafka
menyerahkannya kepada Naya.
“Thanks, Kaf,”
kata Naya.
Kafka memilih
mengobrol dengan teman-teman cowoknya di belakang, sedangkan Naya, memillih
untuk menemani Wina menyelesaikan sketsanya sembari menunggu bel masuk
berbunyi.
***
Bel yang paling
ditunggu sejuta umat pun berbunyi. Bel pulang sekolah yang membahana itu
disambut dengan suka ria oleh semua siswa. Naya berjalan bersisian bersama
Kafka menuju parkiran sepeda seperti biasanya. Panas siang kali ini benar-benar
menyengat hingga ke batas ubun-ubun. Naya mengembuskan napasnya gerah. Sepuluh
menit kemudian, Kafka sudah mengayuh sepedanya di bawah tatapan tajam matahari.
10 menit kemudian,
Kafka memberhentikan sepedanya di depan rumah Naya.
“Thanks, Kaf,”
“Yup,” jawab Kafka.
Naya membuka pintu
rumahnya dan berniat melangkahkan kakinya ke kamar saat didengarnya suara ribut
dari mama dan papanya.
“Untuk apa, Pa?”
suara mamanya terdengar frustasi.
“Kamu kan tahu aku
di sana kerja, bukan main-main!” tandas papanya.
Mamanya tertawa
sinis. “Kerja?”
“Maksud kamu apa?!”
teriak papanya.
“Oh, itu namanya
kerja?!” tanya mamanya dingin.
“Keterlaluan kamu!!”
papanya terlihat menahan dirinya untuk tidak melayangkan tangannya.
“Kamu pikir aku
nggak tahu? Kamu selingkuh kan sama sekretaris kamu itu!!” jerit mamanya
akhirnya. Selanjutnya terdengar tamparan keras. Naya tidak tahan lagi
melihatnya, ia memilih lari dan membanting pintu kamarnya dengan kuat. Naya
merasakan napasnya naik-turun. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Terlambat. Airmatanya luruh juga. Selama ini ia selalu bersikap kuat
menghadapinya. Kini, ia rapuh serapuh-rapuhnya. Ia benci menghadapai kenyataan
seperti itu. Ia benci melihat kedua orangtuanya selalu bertengkar seperti ini.
Papa selalu sibuk di luar sana dengan perusahaannya. Sedangkan mama, ia selalu
menghabiskan waktunya dengan rapat berjam-jam di bank tempatnya bekerja. Jadi
pulang cepat hanya untuk bertengkar? pikirnya sinis.
Naya menenggelamkan
kepalanya di tumpukan bantal dan menumpahkan segala kerapuhannya di sana.
Matanya perih. Ia tidak tahan lagi menghadapi semua ini. Mama-papanya terlihat
sangat tidak peduli lagi kepadanya. Ia merasa seperti tidak punya orangtua. Ia
menangis sejadi-jadinya untuk beberapa saat dalam kesendiriannya. Aku
muak!!! jeritnya dalam hati. Airmatanya belum juga berhenti. Ia terlalu
lemah untuk menghadapi hal seperti ini. Ia lelah. Sejak ia kecil, mama dan
papanya sudah sering terlibat pertengkaran seperti itu. Ia mengusap airmatanya
dengan punggung tangannya dan kemudian mengambil HP-nya yang terletak di lemari
kecil di samping tempat tidurnya.
Kaf
Naya mengirim pesan
singkat kepada Kafka. Ia benar-benar butuh sahabatnya yang satu itu pada saat
ini. Ia terlalu rapuh untuk memendam semua ini sendirian. Tak lama kemudian, ia
melihat sebuah panggilan masuk dari Kafka. Sahabatnya ini terlalu mengenal
dirinya. Ia langsung mengerti arti pesan singkat dari Naya tersebut. Naya
selalu mengirimkan pesan seperti itu kepada Kafka, di saat ia sedang
membutuhkan Kafka. Di saat ia terlalu lemah menghadapi semua masalahnya. Naya
merasa beruntung memiliki sahabat sepertinya.
Naya menjawab
telepon dari Kafka.
“Lo nggak pa-pa,
Nay?” tanya Kafka khawatir.
“Kaf,” panggil Naya
dengan suara tercekat.
“Nay, jawab
gue,” suara Kafka terdengar sangat khawatir.
Naya tidak
menjawabnya. Kafka malah mendengar isakan tangis Naya.
“Nay, gue jemput
lo di rumah sekarang ya,” kata Kafka akhirnya.
“Iya,” jawab Naya
sambil menahan isak tangisnya.
Naya langsung
mengganti seragam sekolahnya dengan atasan berwarna merah dan jins hitam.
Setelahnya, ia langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah dengan menuruni
dua anak tangga sekaligus. Ia masih mendengar keributan kedua orangtuanya. Naya
mempercepat langkahnya dan kemudian mendapati Kafka telah menunggunya di luar
dengan Mazda hitam-nya.
Kafka membukakan
pintu untuk Naya. Naya kemudian masuk dengan matanya yang sembap. Kafka balik
ke kursi kemudinya dan langsung melajukan mobilnya ke tempat di mana ia bisa
menenangkan Naya.
Sepanjang perjalanan
Naya masih diam. Ia sesekali terlihat menyeka airmatanya yang masih turun
dengan tisu di tangannya. Kafka sesekali melihat ke arah Naya. Ia menatapnya
dengan khawatir.
“Nay, udah dong,”
kata Kafka.
Naya hanya menutup
muka dengan kedua tangannya. Ia sekarang terlihat begitu lemah di depan semua
orang. Lima belas menit kemudian, Kafka memarkirkan mobilnya di sebuah mal.
Kafka telah mematikan mesin mobilnya, tapi ia tetap berdiam diri di dalam
sampai menunggu reaksi Naya. Pelataran parkir di lantai enam ini terlihat sepi
dan gelap. Kafka masih menunggu Naya untuk mulai bicara.
Naya mengangkat
mukanya dan mengamati sekelilingnya. “Mal?” tanyanya bingung.
Kafka mengembuskan
napas lega. Akhirnya Naya mau bicara juga. “Ya,” serunya menghibur dengan
senyum lebarnya.
“Ngapain?” tanya
Naya dengan suara seraknya.
“Terserah. Ngapain
aja asal bikin sahabat gue balik senyum lagi. Udah ah, yuk! Turun,” ujar Kafka.
Ia kemudian keluar dari mobil dan berjalan membukakan pintu Naya. Kafka menarik
tangan Naya seperti biasa. Kemudian, mereka masuk ke dalam sebuah bioskop yang
langsung terhubung dengan basement parkir di sini.
***
Naya membasuh
mukanya di westefel dan merapikan penampilannya sejenak. Setelah itu, ia keluar
dari toilet dan mendapati Kafka sudah menunggunya di luar dengan dua tiket
masuk di tangannya.
“Film apa?” tanya
Naya pada Kafka.
“Film This Means
War,” jawab Kafka sambil tersenyum lebar. Naya hanya menganggukkan kepalanya.
“Nay, tunggu sini
dulu, ya. Gue beli popcorn dulu,” ujar Kafka. Naya menunggunya di
tempat duduk yang tersedia di sepanjang studio. Ia menghidupkan HP-nya.
Terlihat terdapat tiga missed-call dari mama. Naya menghela napas
berat. Nanti saja, pikirnya.
Kafka kembali dengan
dua ice blended chocolate dan satu popcorn ukuran large di
tangannya. Naya langsung menyambutnya dengan senyum dan mengambil satu ice
blended chocolate dari tangannya. Kafka duduk di samping Naya.
“Mulai jam berapa
filmnya, Kaf?” tanya Naya.
“Setengah jam lagi,”
jawab Kafka.
“Nay, udah siap
untuk cerita?” tanya Kafka hati-hati.
Naya menolehkan
kepalanya menghadap Kafka. Ia menarik napas dan mengembuskannya sebelum kemudian
berkata, “Nyokap-bokap gue berantam lagi, Kaf,” kata Naya dengan senyum sinis.
Kafka mengamati
sahabatnya ini sebelum kemudian menarik Naya ke dalam pelukannya. “Gue juga
pernah ngalaminnya. Sabar ya, Nay,” ujar Kafka tanpa bermaksud menggurui. Tentu
saja Kafka juga pernah mengalaminya. Mama-papanya bercerai saat ia masih kelas
enam SD. Menyakitkan. Tapi, itulah kenyataan yang harus ia hadapi. Sekarang ia
tinggal bersama mama dan kakak perempuannya.
Kafka menarik Naya
lebih dekat hingga gadis itu bisa menyandarkan kepala di bahunya. Naya tidak
perlu menjelaskan segalanya. Ia tahu, Naya begitu rapuh pada saat ini. Ia tidak
akan meminta Naya untuk menceritakan semuanya, karena hanya dengan lewat
tatapan Naya, Kafka mengerti akan segala yang dirasakan oleh Naya pada saat
ini.
“Gue takut, Kaf,”
kata Naya lirih.
“Nay, nggak ada yang
perlu ditakutin. Semuanya akan baik-baik aja,” ujar Kafka menenangkan.
Naya menggigit bibir
bawahnya menahan tangis. “Gue sayang sama mereka berdua. Gue sayang banget,
Kaf. Tapi kenapa semuanya jadi hancur kayak gini? Tadi mama bilang, papa
selingkuh sama sekretarisnya di kantor. Kenapa papa gue tega ngelakuin itu,
Kaf?” kata Naya lirih. Tanpa bisa dicegah, airmatanya mengalir juga. Ia
langsung menyekanya dengan tisu.
Kafka mempererat
pelukannya. “Nay, udah. Udah, Nay. Gue ngerti gimana perasaan lo. Gue ngerti,
Nay,” bisik Kafka lirih sambil mengusap lembut pundak Naya.
“Gue capek, Kaf,”
kata Naya menahan isakan tangisnya.
Kafka tetap mengusap
lembut pundaknya berusaha menenangkan. Ia membiarkan Naya menangis dalam
pelukannya. Naya berusaha menenangkan dirinya. “Nggak peduli seberat apapun
masalah yang lo hadapi, lo tetap harus ingat, Nay. Gue di sini untuk lo.
Sahabat lo ini akan tetap di sini apapun yang terjadi. Nay, udah ya,”
kata Kafka menenangkan sekali lagi. Naya mengangkat kepalanya dan balas memeluk
erat Kafka. Ia tidak tahu apa jadinya jika tidak ada Kafka di sampingnya.
Kafka dan Naya masuk
ke dalam studio 3, lima menit sebelum film This Means War dimulai. Mereka duduk
bersebelahan di row C seat 8 dan 9. Suasana di dalam tidak
terlalu ramai. Hanya belasan orang yang menonton.
“Lo bawa mobil Kak
Vina, ya?” tanya Naya setengah berbisik. Setahunya, Mazda hitam yang tadi
dikendarai Kafka adalah milik kakaknya, Vina.
Kafka hanya nyengir.
“Iya, hehe. Nggak mungkin tetap mau pakai bicycle. Jauh, Nay. Jadi gue
ambil aja mobil si Vina,” Naya menganggukkan kepalanya.
Film yang dibintangi
Reese Whiterspoon itu cukup menghibur. Genre romantic-comedy yang
diambil sangat tidak membosankan. Beberapa adegan terkadang juga membuat
seluruh penonton tertawa. Sesekali Kafka melirik Naya yang duduk di sampingnya.
Ia tahu ia tidak sepenuhnya membuat Naya tertawa. Gadis itu terlihat sangat
rapuh. Akhirnya, film yang berdurasi 98 menit itu usai.
“Makasih untuk
semuanya, Kaf,” ujar Naya tulus berterimakasih.
“My pleasure,”
kata Kafka sambil mengacak rambut Naya.
Mereka berdua keluar
dari bioskop. Jam baru menunjukkan pukul 17:00. Kafka masih mempunyai rencana
lain.
“Lho, kok ke sini?
Kita mau pulang, kan?” tanya Naya saat Kafka menyeretnya ke sebuah studio foto.
Kafka menarik tangan
Naya masuk ke dalam studio tersebut. “Pulangnya entar aja lagi. Baru jam lima.
Foto dulu yuk!” kata Kafka sambil tersenyum memamerkan baris gigi putihnya.
Kafka tidak memberikan Naya kesempatan untuk menolak. Di sinilah akhirnya
mereka berada. Sekitar setengah jam Naya dan Kafka berfoto dengan berbagai gaya
dari arahan sang fotografer. Lima belas menit kemudian, mereka telah duduk di
sebuah restoran.
Naya mengamati
sepuluh lembar hasil fotonya dengan Kafka. Kafka yang tadi sibuk dengan Angry
Birds di iPhone-nya sembari menunggu pesanan makanan mereka datang, akhirnya
ikut melihat apa yang diamati Naya.
“Kaf, lo kok narsis
gini sih di sini?” tanya Naya heran.
“Apanya yang narsis?
Lo nggak liat muka gue mirip Freddie Highmore gini?” tanya Kafka sambil melirik
Naya.
“Iya deh iya,” seru
Naya.
“Iya nya nggak
ikhlas gitu,” kata Kafka dengan muka cemberut.
“Malesin ih. Gue
yang mirip Chloë Moretz biasa aja tuh,” seru Naya menandingi Kafka.
Kafka mengerutkan
keningnya. “Chloë? Oh, yang main di film Diary of a Wimpy Kid?” tanya Kafka
penasaran. Ia hanya ingin memastikan.
“Ya!! Chloë di film
itu meranin sebagai temannya Greg,” jelas Naya sedikit antusias. Kafka senang
melihat Naya perlahan sudah bisa tersenyum kembali. Tak lama kemudian, pesanan
makanan mereka datang. Mereka berdua serentak memesan Chiken Yakiniku di sebuah
restoran yang menyajikan masakan Jepang.
“Kaf, gue
harus gimana?” tanya Naya tiba-tiba. Kafka yang sedang menyuapkan potongan
terakhir daging ayamnya lantas bingung.
“Apanya, Nay?”
tanyanya.
“Gue takut orangtua
gue mau cerai,” jawab Naya sambil menggigit bibir bawahnya.
“Nay, dengerin gue.
Kalaupun orangtua lo nantinya ambil keputusan seperti itu, kita hormati aja.
Mereka tahu apa yang terbaik untuk semuanya. Ya?” ujar Kafka meyakinkan.
Naya kembali
melanjutkan makannya. Ia tidak tahu apa lagi yang akan terjadi sepulangnya dari
sini nanti. Naya menghidupkan kembali HP-nya yang daritadi dimatikannya.
Terdapat satu SMS masuk dari mamanya.
Nay, cepat
pulang ya, Nak.
Naya membacanya
dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lima belas menit kemudian, Kafka telah
mengantarnya pulang. Naya memasuki rumahnya. Sepi, pikirnya. Ia segera
naik ke kamarnya dan sedikit terkejut melihat mamanya telah menunggunya di
dalam kamar.
“Nay,” panggil
mamanya sambil merentangkan tangannya.
Naya yang sedari
tadi sudah ingin menumpahkan segalanya langsung menghambur ke dalam pelukan
mamanya. “Ma,” bisik Naya lirih. Ia menangis dalam diam. Ia amat menyayangi
mamanya. Ia tidak ingin siapapun menyakitinya. Naya mempererat pelukannya saat
ia merasakan mamanya juga ikut menangis. Entah sampai kapan ini akan terus
terjadi.
***
Naya melupakan
sejenak masalah keluarganya. Ia tetap bersikap seperti biasa di sekolah. Hanya
Kafka di kelas ini yang mengetahui segalanya. yang tahu semuanya. Sahabatnya
yang satu itu tetap setia berdiri di sampingnya apapun yang terjadi.
“Makannya
pelan-pelan dong, Kaf,” ujar Naya mengingati saat mereka sedang makan di
kantin.
“Iya, iya,” jawab
Kafka
“Bener tuh kata
Naya, Kaf,” Wina ikut menimpali.
“Njih, Ndoro,” jawab
Kafka sambil menyuap nasi gorengnya.
Wina malah tertawa
sementara Naya hanya geleng-geleng kepala. Naya menghabiskan potongan terakhir
pisang cokelatnya sedangkan Wina menyesap lemon tea dinginnya hingga
tandas.
“Kalian cerewet
banget!” seru Kafka. Tak lama kemudian, ia terbatuk-batuk sendiri akibatnya.
“Nah lho, gue
bilangin juga apa kan,” ucap Wina cuek.
Naya mengambil
minuman yang ada di depannya. “Nih minum,” ujarnya.
Kafka meneguk
minuman yang diberikan Naya. “Thanks, Nay,” kata Kafka berterimakasih,
“Guys, gue
ke toilet dulu, ya. Kalian ntar ke kelas duluan aja,” ujar Naya seraya bangkit
dari duduknya.
“Oh, oke,” jawab
Wina sementara Kafka masih sibuk melahap nasi gorengnya.
***
Naya merapikan
penampilannya sambil menghadap cermin di depannya. Ia membetulkan dasinya yang
sedikit miring lalu membasuh mukanya dengan air di westafel. Tak lama kemudian,
bel masuk pun berbunyi. Ia segera bergegas ke luar dan berjalan dengan
tergesa-gesa karena jam pelajaran selanjutnya adalah jam biologi, di mana Bu
Siska, guru yang mengajarnya terkenal sangat disiplin dan tidak menolerir
keterlambatan barang semenit.
Naya mempercepat
langkahnya yang beberapa saat kemudian terhenti secara tiba-tiba Naya meringis
saat menyadari kepalanya terbentur dengan sesuatu.
“Punya mata nggak
sih?” tanya orang di hadapannya dengan kesal. Naya mengangkat kepalanya dan
menahan napas saat menyadari siapa yang ada di hadapannya.
“Maaf, Kak,” ujarnya
pelan. Naya masih meringis kesakitan akibat benturan di kepalanya. Dion menatap
adik kelas di depannya dengan tatapan sinis.
“Klasik!” Dion
langsung berdiri dan hendak berbalik meninggalkan Naya. Niat itu ia urungkan
saat dilihatnya darah kental mengalir dari hidung Naya. Dion menahan langkahnya
untuk beberapa saat. Naya yang merasakan sesuatu hangat mengalir dari hidungnya
langsung refleks menyentuhnya.
“Elo mimisan,” kata
Dion dengan ekspresi datar bercampur kaget.
Naya langsung pucat
seketika. Ini mimisan yang kedua kalinya dalam beberapa akhir ini. Naya menahan
gemetar dari tubuhnya. “Permisi, Kak,” ucapnya sopan sambil berjalan menjauh.
Naya segera berlari ke toilet. Dion yang semula hanya membiarkan Naya pergi
kemudian memutuskan untuk meyusulnya.
Dion membuka pintu
toilet dan mendapati Naya sedang berdiri di depan westafel berusaha
menghentikan darahnya yang mengalir. Dion masih terpaku berdiam diri di
tempatnya.
“Gue harus ngapain?”
tanya Dion tulus khawatir.
Naya tidak
menjawabnya. Ia berusaha memberhentikan mimisannya. Dion mendekati Naya dan
menyerahkan handuk kecil kepadanya. Naya menerima pemberian Dion. Ia mematikan
air westafel dan kemudian menyumbat aliran darahnya untuk sementara dengan
handuk kecil tersebut.
“Makasih, Kak,” ucap
Naya tulus setelah menerima handuk tersebut.
Dion tidak menyahuti
dan malah bertanya dengan cueknya. “Nama lo Naya kan?” tanyanya sedikit lebih
ramah.
Naya menganggukan
kepalanya sebagai sebuah jawaban. “Permisi, Kak. Kalau gitu saya balik ke kelas
dulu,” ujar Naya sambil berjalan ke luar.
“Kak. Handuknya ini
gimana?” tanya Naya takut.
“Lo bawa aja dulu,”
jawab Dion datar.
“Sekali lagi
makasih, Kak,” ucap Naya tulus. Naya lalu meneruskan langkahnya menuju kelas.
Dion menganggukkan kepalanya dan juga langsung berbalik menuju kelasnya.
***
“Nay, lo tadi dari
mana?” tanya Kafka saat mereka berdua sedang menuju parkiran.
“Dari toilet,” jawab
Naya sambil tersenyum.
Kafka mengerutkan
keningnya. “Selama itu?” tanyanya heran.
“Iya. Tadi toilet
lagi ramai-ramainya, Kaf,” jelas Naya asal. Kafka tidak meneruskan untuk
bertanya lebih lanjut lagi, walaupun jawaban Naya barusan terdengar tidak masuk
di akal baginya.
“Nay, gue buat PR
bahasa Jepang di rumah lo, ya,” kata Kafka saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Iya,” jawab Naya.
“Tapi Kaf, temanin gue sampai malam, ya.” sambung Naya lagi.
“Nyokap-bokap lo
balik malam lagi hari ini?” tanya Kafka. Naya memilih tidak menjawab.
***
Kafka dan Naya duduk
di balkon kamar Naya dalam diam setelah selesai mengerjakan PR bahasa Jepang.
“Kaf, mau es krim
nggak?” tawar Naya akhirnya seraya bangkit dari duduknya.
“Boleh,” jawab
Kafka. Naya langsung berjalan ke luar kamar. Kafka mengikutinya dari belakang.
Mereka berjalan menuruni anak tangga.
Kafka duduk di pantry
sementara Naya menyekup es krim ke dalam mangkuk kecil untuk mereka berdua.
Kafka hanya mengamati Naya lewat sorot mata coklatnya. Naya ikut duduk di pantry
tepat di sebelah Kafka. Ia meletakkan satu mangkuk es krim di depan Kafka.
“Dimakan, Kaf,” ujar
Naya. Kafka langsung menyuap es krimnya.
Naya kemudian
bangkit dan menghidupkan teve di ruang tamu. Kafka mengikutinya dari belakang.
Mereka kini duduk di sofa panjang sambil menyantap es krimnya masing-masing.
Kafka mengambil remote teve dan menggantinya acak hingga berhenti di channel
Fox Movies Premium. Miley Cyrus sedang beradu akting dengan Liam Hemsworth
dalam film The Last Song.
“Kaf, gantilah,”
pinta Naya saat Kafka memberhentikan channel di Fox Movies.
“Kenapa?” tanya
Kafka.
“Filmnya terlalu
sedih,” jawab Naya seadanya.
“Oke,” kata Kafka tanpa
banyak tanya.
Akhirnya Kafka
memilih menggantinya dengan film Due Date yang dibintangi Robert Downey Jr. di
channel HBO. Film komedi yang satu ini selalu sukses membuat penontonnya
tertawa puas.
Kafka tidak
henti-hentinya tertawa sampai terbatuk-batuk sendiri. Naya yang awalnya menilai
film ini biasa saja juga ikut tertawa. Tak lama kemudian, ia bangkit dan
berjalan ke dapur mengambil minum untuk mereka berdua. Naya menuangkan coke
ke dalam dua gelas di hadapannya. Ia menyentuh bibir atasnya saat menyadari
sesuatu yang hangat keluar dari hidungnya.
Naya meletakkan
gelas yang tadi ingin dibawanya di meja dekat pantry. Ia membuka keran
westafel dan berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya. Ia menekan
bagian atas hidungnya agar menghentikan pendarahan kecil itu.
“Nay,” panggil Kafka
dari ruang tamu.
“Iya, ntar,” jawab
Naya gugup. Selang beberapa menit kemudian, aliran darah dari hidungnya telah
berhenti. Ia mengembuskan napas lega. Naya menyumbat hidungnya beberapa saat
untuk memastikan aliran darahnya benar-benar sudah berhenti.
Ia kemudian berjalan
menghampiri Kafka di ruang tamu sambil membawa dua gelas minuman. “Due Date-nya
mana?” tanya Naya dengan heran.
“Udah habis,” jawab
Kafka.
“Minum, Kaf,” ujar
Naya. Kafka menyesap coke-nya hingga tandas.
“Cerita komedi malah
buat haus banget.” Kata Kafka. “Nay, beli nasi goreng yuk. Lapar!” ajak Kafka.
“Di mana?”
“Di jalan Tandean
sana. Katanya nasi goreng tempat yang baru buka itu enak banget. Yuk lah,”
“Iya iya,”
***
Naya menyantap nasi
gorengnya dengan lahap, tak kalah lahap dari Kafka. “Bener kan kata gue,”
komentar Kafka. “The best banget nih nasi gorengnya,”.
“Iya, kebetulan gue
juga lagi laper,” seru Naya. Mereka memilih menyantap nasi gorengnya dengan takeaway
di rumah Naya.
Setengah jam kemudian,
Kafka pamit pulang. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. “Nay, gue balik
dulu, ya,” kata Kafka. Naya menganggukkan kepalanya.
“Lo nggak pa-pa,
kan?” tanya Kafka.
“Iya nggak pa-pa.
Memangnya gue kenapa? Paling ntar lagi nyokap gue juga balik,” jawab Naya saat
mengantar Kafka ke luar.
“Oke, gue balik
dulu, Nay,” ujar Kafka.
***
“Ah, elo, Kak!
Ngagetin aja,” kata Kafka sambil membuang napas sebal saat melihat kakaknya
secara tiba-tiba muncul di kamarnya.
“Lebay!” ujar Vina,
Kakak Kafka.
“Ini lo sama Naya,
ya?” tanya Vina saat melihat foto yang tergeletak di atas meja belajar Kafka.
“Masa lo lupa. Ya
iyalah,” jawab Kafka sekenanya.
“Kan gue udah lama
nggak lihat Naya. Maklum aja kali. Terakhir gue ketemu kan pas kalian masih
SMP. Makanya, ajak Naya sekali-kali main ke sini,” ujar kakaknya.
“Kak, hampir tiap
minggu, gue juga sering ngajak Naya main ke sini. Cuma pas tiap Naya datang, lo
aja yang nggak ada di rumah,” terang Kafka. Vina hanya menganggukkan kepalanya.
“Cantik, ya,”
komentar Vina sambil menatap foto di tangannya.
Kafka hanya
menolehkan kepalanya dan mengangkat sebelah alisnya. “Siapa?” tanya Kafka.
“Ya Naya, lah! Lo
mau gue bilang cantik?” ujar Vina. Kafka tidak menyahuti dan memilih diam.
“Memang,” jawab
Kafka singkat akhirnya. Vina mengamati perubahan wajah Kafka.
“Lo suka Naya, Kaf?”
tanya Vina meyelidiki.
“Apaan sih lo, Kak.
Ya enggaklah. Dia kan sahabat gue,” jelas Kafka.
Vina mencibir adik
laki-laki satu-satunya ini. “Ya nggak ada salahnya juga kali suka sama sahabat
sendiri,” ujar Vina. Kafka terdiam.
“Aduh, keluar deh
lo, Kak. Gue mau tidur,” kata Kafka pada kakaknya.
“Yeee ngusir nih
ceritanya? Adik macam apa ini?” ujar Vina seraya melangkah ke luar kamar dengan
santainya.
“Berisik!” ujar
Kafka sambil melempar bantal ke Vina, namun meleset karena pintu kamarnya telah
tertutup kembali.
Kafka merapikan
kembali fotonya dan Naya di meja. Ia mengamati foto itu sejenak. Gue kenapa
sih? pikirnya. Ia kemudian mematikan lampu kamarnya dan memilih memejamkan
matanya.
***
Naya menggenggam handuk
kecil milik Dion di tangannya. Ia menunggu Dion di pinggir lapangan hingga
cowok itu selesai bermain basket bersama teman-temannya. Beberapa menit
kemudian, Dion terlihat menghampiri dirinya.
“Ada apa?” tanya
Dion.
“Ini handuknya, Kak.
Makasih untuk kemarin,” ujar Naya sambil menyerahkan handuk kecil berwarna
merah tersebut. Dion menerima uluran handuk dari tangan Naya.
“Keadaan lo gimana?”
tanya Dion.
“Udah baikan, Kak,”
jawab Naya.
“Kalau gitu, saya
pulang dulu, Kak,” ujar Naya sambil berbalik. Dion tidak menyahutinya melainkan
hanya menganggukkan kepalanya. Dion kemudian mengambil tas kecil Adidas-nya
di pinggir lapangan.
***
Waktu berdetak cepat
dalam hitungan detik yang berubah menjadi menit dan berlalu seketika dalam
hitungan jam. Tidak terasa sebentar lagi seluruh siswa akan disibukkan dengan
ujian semester genap. Tugas-tugas pun semakin sering diberikan oleh guru mata
pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada lagi waktu luang untuk bersantai seperti
biasanya. Semua siswa harus melakukan yang terbaik untuk menjadi best of
the best.
Kafka sedang
mengerjakan soal-soal kimia yang ada di buku cetaknya saat ia melirik Naya di
sampingnya yang masih serius berkutat menyelesaikan speech text-nya
untuk speech contest antar sekolah yang diselenggarakan untuk memperingati
hari Pendidikan Nasional.
“Belum selesai?”
tanya Kafka.
Naya menggeleng
pelan. “Cuma tinggal editing,” jawabnya masih terfokus pada laptop
di depannya.
“Judul speech-nya
apa?” tanya Kafka lagi.
Naya mengalihkan
pandangannya sejenak dari layar laptop ke Kafka. “The Untold Story of
Education in Indonesia,” jawab Naya melafalkannya.
“Pasti menang nih,”
ujar Kafka bersemangat.
“Belum tentu,” ujar
Naya. “Jangan berekspektasi terlalu tinggi, Kaf,” sambung Naya lagi.
“Berharap tidak ada
salahnya,” jawab Kafka cuek sambil mengangkat bahu.
***
Suasana kelas pagi
ini terlihat sibuk dengan aktivitasnya seperti biasa. Tampak lingkaran di sudut
ruangan yang terdiri dari enam hingga tujuh orang siswa gegap gempita menyalin
PR yang harus dikumpulkan hari ini juga.
Naya baru meletakkan
tasnya di kursi di ikuti Kafka yang berjalan di belakangnya saat Deva, teman
sekelasnya datang menghampiri.
“Nay, pinjem PR
bahasa Jepang lo dong. Please!” kata Deva dengan wajah memelas.
“Tapi, Dev, gue juga
nggak terlalu yakin sama partikel Jepang yang gue buat,” ujar Naya.
Deva tetap keukeuh.
“Nggak pa-pa! Ya?” desak Deva lagi. Naya akhirnya mengeluarkan buku PR bahasa
Jepangnya. Deva langsung mengambilnya dan balik ke tempat duduknya untuk
bergegas menyalinnya.
“Selain PR bahasa Jepang,
ada yang lain lagi nggak, Nay?”
“Kimia,” jawab Naya
singkat.
Kafka membulatkan
matanya. “Hah, tentang apa?!” tanyanya panik.
“Tentang tata nama
penamaan senyawa alkana,” jelas Naya.
“Darn! Gue
lupa!” Kafka langsung mengeluarkan buku kimianya.
Kafka langsung
mengerjakan PR kimia tentang penamaan senyawa alkana tersebut. “Nay, kalau
rumus molekulnya C7H16 namanya apa?” tanya Kafka sambil mengetukkan jarinya di
meja.
“Heptana,” jawab
Naya singkat.
“Thanks!” ujar
Kafka. “By the way, lo lagi ngafalin apa sih?” tanya Kafka sambil
terus menulis. Ia mendengar Naya sedang melafalkan sesuatu.
“Teks pidato,” jawab
Naya. Kafka hanya menganggukkan kepala.
***
Pak Frans, guru
fisika sedang menjelaskan tentang gelombang elektromagnetik saat terdengar
ketukan pintu. Seisi kelas kompak langsung mengarahkan pandangannya ke pintu
masuk di depan kelas. Dion, langsung menghampiri Pak Frans dan terlihat sedang
berbicara sesuatu.
Pak Frans berdeham
sebelum mengatakan, “Naya, kamu mau lomba pidato, kan?” Seluruh mata langsung
tertuju pada Naya.
“Iya, Pak,” jawabnya
sopan.
“Baiklah, kamu boleh
keluar untuk bersiap-siap,” ujar Pak Frans. “Silakan,” lanjutnya lagi.
Naya berjalan ke
depan dan berpamitan kepada Pak Frans. “Makasih, Pak,” ujar Naya.
“Pak, kalau gitu
saya permisi dulu,” ujar Dion.
“Oh iya. Nay, semoga
menang lombanya ya, Nak,” ujar Pak Frans menyemangati. Naya tersenyum
membalasnya. “Makasih, Pak,”
Dion dan Naya
berjalan bersisian di sepanjang koridor sekolah. Mereka sebagai perwakilan dari
SMA Regina Pacis akan mengikuti lomba speech contest antar sekolah.
Dion melirik adik
kelasnya. “Nggak usah nervous,” ujarnya santai.
“I’m not,” jawab
Naya berusaha sesantai mungkin. tak lama kemudian, Bu Dian, yang akan
mendampingi mereka berdua selama lomba muncul dari belakang.
“Are you ready,
guys?” tanya Bu Dian semangat kepada Naya dan Dion.
“Yes, ma’am!” jawab
Dion yang diikuti gerakan anggukan kepala dari Naya.
30 menit kemudian
mereka sampai di gedung Seni dan Budaya tempat di mana diselenggarakannya speech
contest tersebut. Terlihat puluhan siswa lainnya juga memadati gedung ini
dan bersiap untuk mewakili sekolahnya masing-masing. Naya melihat text-nya
sekali lagi. Dion yang duduk di sampingnya langsung menarik kertas tersebut.
“Udah, nggak usah
dibaca lagi. Lo pasti bisa,” ujar Dion cuek sambil memasukkan kertas milik Naya
tersebut ke dalam sakunya. Naya hanya pasrah. Lima belas menit kemudian, speech
contest itu pun dimulai.
Naya memerhatikan
peserta dari SMA lain yang sedang maju ke depan. Tiba-tiba, rasa percaya
dirinya hilang. Dion melirik adik kelasnya ini. “Jangan nervous,” ingat
Dion lagi. Naya menarik napasnya dan langsung mengembuskannya seketika. Tak
lama itu, namanya dipanggil. Ia dipersilakan untuk segera naik ke atas podium.
Naya berusaha mengumpulkan kepercayaan dirinya dengan bersusah payah. “Good
luck!” kata Dion memberi dukungan. Bu Dian pun juga melakukan hal yang
sama.
Naya berdiri tegap
di atas podium. Ia mengambil napas perlahan lalu mengembuskannya dengan pelan.
Ia akhirnya bisa menguasai podium. Semua yang hadir menyimaknya dengan saksama.
Naya menyampaikan isi pidatonya dengan penuh percaya diri.
“I will quote a
wise expression: “Education is the key to unlock the golden door of freedom”.
This expression reminds us how importance of education for human life is.”
ujar Naya yang menyampaikan isi pidatonya dengan lantang.
“I think, it’s
completely enough for me to this point. The wrong utterances are caused by
limitation of my ability and the right one is merely from God. So, I beg your
pardon, finally I say,” tutup Naya dengan tersenyum yang sekaligus
menandakan akhir dari pidatonya. Semua hadirin bertepuk tangan dengan kagum.
Naya kembali ke
tempat duduknya. “Bravo!” seru Dion senang.
“Good job, Nay,”
kata Bu Dian sambil tersenyum lebar.
“Makasih, Bu,” jawab
Naya yang tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Tak lama setelahnya,
tibalah saat Dion untuk menyampaikan isi pidatonya di hadapan para hadirin.
Naya mengamatinya dari sudut matanya. Dion terlihat melangkah menuju podium
dengan percaya diri yang tinggi. Tak heran jika mengingat, Dion sudah sering
memenangkan perlombaan speech semacam ini sebelumnya. Dion
menyampaikan pidatonya dengan lancar. Hadirin pun mengapresiasikannya dengan
tepuk tangan yang meriah.
“We did good!” seru
Dion saat kembali duduk di samping Naya. Naya tersenyum mendengarnya.
Naya percaya bahwa
ia telah melakukan yang terbaik. “Yes, of course!” jawab Naya
tersenyum lebar.
***
“Traktir!” seru Wina
riang kepada Naya.
“Iya,” jawab Naya
sambil tertawa melihat tingkah Wina.
“Cieee yang menang speech
contest,” kata Wina lagi.
Naya bersungut. “Ah,
Win. Jangan berlebihan,” kata Naya merendah.
“That’s a fact,
darling!” seru Wina lagi.
“Lumayan,” seru
Kafka dari belakang. Naya dan Wina tertawa bersama-sama.
Tiba-tiba, Deva
muncul dan bergabung bersama mereka. “Hey, man! Gue juga ditraktir kan
ini?” tanya Deva mengerling jahil. Naya menatap ke arah Deva dengan pandangan
serius.
“Gimana ya?” tanya
Naya pura-pura bingung. Naya melihat perubahan di wajah Deva. “Haha, iya iya.
Pastilah. Tenang aja lagi,” jawab Naya.
Mereka berjalan
menuju kantin dan serentak memesan empat mangkuk bakso dan empat lemon tea dingin.
***
“Kenapa?” tanya
Kafka saat Naya memberitahunya bahwa hari ini ia tidak bisa pulang dengannya.
“Kak Dion mau
ngajakin jalan,” terang Naya.
“Jalan?” tanya Kafka
heran dengan nada sedikit meninggi.
“Sejak kapan kamu
dekat sama dia?” tanya Kafka dingin.
“Kaf, dia cuma
ngajakin jalan biasa. Just to celebrate for that speech contest. That’s
it,” terang Naya. Kafka hanya diam. Naya menunggunya hingga beberapa saat.
“Ya udah,” jawab
Kafka akhirnya meninggalkan Naya.
Naya menatapnya
tidak percaya. Kafka kenapa sih? Naya membatin bingung.
***
Naya dan Dion duduk
di sebuah cozy café yang menyajikan berbagai panganan yang terbuat
dari cokelat. Mereka berdua memesan marshmallows bakar berbalut selai
cokelat.
“Cheers?” tanya
Dion sambil mengangkat gelasnya.
“Sure!” seru
Naya dan kemudian melakukan hal yang sama.
Mereka menyantap marshmallows-nya
dengan lahap. Sesekali mereka mendiskusikan hal-hal yang bersifat umum sampai
kemudian, “Masih sering mimisan?” tanyanya setelah melahap habis marshmallows-nya.
“Sesekali,” jawab
Naya. Dion mengamati Naya lekat-lekat untuk beberapa saat.
“Why?” tanya
Naya yang merasa heran dengan sikap Dion.
“Nothing,” jawab
Dion. “Besok ada acara?” tanya Dion lagi.
“Enggak. Ada apa?”
tanya Naya.
“Cuma mau ngajakin
jalan aja,” kata Dion sambil mengangkat bahu.
Naya mengerutkan
keningnya. “Again?” tanya Naya sambil menyunggingkan senyumnya.
“Why not?”
Dion berujar dengan cueknya. “So?” tanyanya lagi.
Naya tertawa renyah.
“Okay,” jawabnya sambil tersenyum lebar.
***
“Yuk, Nay,” kata
Kafka saat bel pulang berbunyi.
Naya menggigit bibir
bawahnya. “Kaf, sorry. Hari ini gue nggak bisa ikut pulang bareng,”
jelas Naya akhirnya.
“Kenapa lagi?” tanya
Kafka dingin dan datar.
Naya memberanikan
diri. “Ada janji,” jawabnya.
“Penting?” tanya
Kafka masih dengan intonasi yang sama. “Sama siapa?” lanjutnya lagi.
“Dion,” jawab
Naya dengan sedikit rasa bersalah.
Kafka hanya
tersenyum datar. “Oke,” katanya sambil berlalu meninggalkan Naya yang masih
berdiri termangu.
***
Kafka membuka garasi
rumahnya dan setelahnya langsung berlari ke kamar. Ia membanting pintu kamarnya
kuat. Matanya memerah. Ia mengambil lembaran fotonya dengan Naya yang
tergeletak di atas meja belajarnya. Kafka menggenggamnya satu dan meremas
erat-erat foto itu di kepalan tangannya, lalu melemparkan ke ujung ruangan.
Pantaskan ia marah?
Pantaskah ia benci melihat sahabatnya dekat dengan orang lain? Pantaskah? Kafka
akhirnya menyadari bukan permasalahan pantas atau tidaknya. Tapi, perasaan
sayang lebih dari seorang sahabat yang ia miliki untuk Naya. Kafka bergulat
dengan pikirannya sendiri.
***
Naya dan Dion
berjalan menuju parkiran setelahnya keluar dari restoran Jepang tersebut. Dion
membukakan pintu untuk Naya setelah itu berjalan ke seberang dan duduk di
kemudinya. Naya mengamati Dion yang memegang kemudi setir namun masih juga
belum menyalakan mesin. Dion menatap Naya lekat untuk beberapa saat.
Naya menahan
tawanya. “Stop it. What’s up?” tanya Naya yang merasa aneh ditatapi
Dion seperti itu. Dion hanya mengangkat bahu seperti biasanya.
Ia kemudian berbalik
mengambil sesuatu di jok belakang. “For you,” kata Dion singkat sambil
menyerahkan boneka beruang putih besar. Naya tidak bisa menahan senyumnya. Ia
hanya menatap pemberian Dion itu untuk beberapa saat.
“Nggak suka ya?”
tanya Dion. “Maaf kalau bonekanya nggak dibungkus rapi dalam kotak atau plastik
seperti seharusnya. I don’t know how it feels so cheesy. I don’t know how
to be romantic. I’m pretty dumb in love,” pengakuan itu meluncur begitu
saja dari mulut Dion.
“In love?” tanya
Naya yang tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.
“Ya, I’m in
love. I’m in love with you. Darn! This is so cheesy. But, I’m truly deeply in
love with you, Naya,” aku Dion akhirnya.
“Would you be my
special friend? You know, I don’t like to call it girlfriend. But I really
meant it. Would you?” tanya Dion sambil menatap Naya.
“I can’t answer
right now. Give me just a little more time, please,” kata Naya masih
terlihat kaget.
“Pleasure. Take
as long as you need,” jawab Dion sambil tersenyum kepada Naya. Ia lega
telah mengungkapkan semuanya. Setelah itu, sedan hitamnya meluncur meninggalkan
restoran Jepang tersebut.
***
Naya menghempaskan
tubuhnya di tempat tidur dengan perasaan yang campur aduk. Ia mencoba mengingat
segala hal yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti bagaimana perasaannya saat
Dion mengatakan terus terang tentang semua itu. Perasaannya, jika harus jujur,
ia hanya menganggap Dion sebagai kakak kelas sekaligus temannya. Tidak lebih.
Apa yang harus ia lakukan pada saat ini? Ia ingin bercerita semuanya kepada
Kafka. Tapi, niat itu ia urungkan saat mengingat sikap Kafka yang dingin
padanya akhir-akhir ini.
Naya tidak peduli.
Ia memberanikan diri menelepon Kafka. Naya menunggunya hingga beberapa saat.
Masih belum ada jawaban. Tidak biasanya. Hingga akhirnya, Naya membuang napas
lega saat telepon di seberang sana dijawab.
“Kaf,” buka
Naya.
“Ya?” jawab
Kafka di seberang dengan suara serak.
“Kaf, gue mau minta
maaf,” ujar Naya akhirnya.
“Minta maaf?
Karena apa?” tanya Kafka dengan nada tercekat.
“Gue udah buat lo
marah. Kaf, gue mohon. Maafin gue. Akhir-akhir ini lo jadi pulang sendiri,”
ujar Naya.
“Lo cuma mau
minta maaf soal itu?” tanya Kafka sinis. “Gue lebih baik pulang
sendiri daripada sama lo!” lanjut Kafka lagi dingin dan menusuk.
Naya terpaku di
tempatnya. Ia mengusap airmata yang keluar dari sudut mata dengan punggung
tangannya. Kafka mengatakannya. Kata-kata itu tajam menghunus menyisakan
kepedihan.
“Nay, gue nggak
maksud ngomong gitu. Nay, lo dengerin gue dulu. Lo tahu nggak sih gue tuh
sayang sama lo! Gue suka sama lo, Nay!!” Kafka mengatakan yang sebenarnya.
Kafka benar-benar mengatakannya.
Naya terpaku diam
dengan genangan airmatanya yang seakan tidak cukup untuk menangisi semuanya.
Kafka menyukainya? Kafka? Kenapa harus Kafka? Kenapa ia mengatakannya setelah
menyakitinya seperti itu? Naya menahan isakannya.
“Gue juga sayang
sama lo, Kaf,” Naya akhirnya mengakui. “Dang! I just realised that!” lanjut
Naya lagi sambil terisak.
Kafka langsung
memutuskan sambungan telepon. Ia segera bergegas menuju rumah Naya. Tak butuh
waktu lama untuk tiba di sana. Kafka mengetuk pintu depan rumah Naya dengan
tidak sabaran. Ia menyentuh gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Kafka
langsung segera masuk dan naik ke atas menuju kamar Naya. Ia mendapati Naya
sedang terisak di sudut kamar dengan menenggelamkan mukanya di kedua telapak
tangannya. Kafka memeluknya erat. Kafka tidak mampu berkata-kata. Ia
mengeratkan pelukannya dan membiarkan Naya menangis dalam dekapannya. Kafka menengadahkan
muka Naya saat dirasakannya sesuatu yang hangat membasahi dadanya. Bukan. Itu
bukan sekadar airmata. Kafka terpaku kaget saat menyadari itu merupakan darah
segar yang mengalir dari hidung Naya. “Nay!” guncang Kafka saat melihat Naya
yang sudah tidak sadarkan diri.
“Nay!!”guncang Kafka
sekali lagi. “Naya!!” jerit Kafka. “Nay, bangun, Nay!!” teriak Kafka frustasi.
“NAAAAAYYYY!!”
teriak Kafka tanpa bisa membendung airmatanya.
***
Kafka menguatkan
dirinya menghadiri upacara pemakaman Naya. Matanya memerah. Airmata ini belum
kering juga. Ia memandang kosong ke depan. Ia baru mengetahui bahwa selama ini
Naya mengidap kanker nasofaring yang telah lama dideritanya. Kanker yang telah
mencapai stadium akhir itu akhirnya merenggut Naya. Mimisan yang berulang kali
selama ini semakin memperburuk kondisinya.
Kedua orangtua Naya
terlihat tak mampu lagi mengeluarkan airmatanya. Mereka terlihat sangat
terpukul dengan semua ini. Seluruh teman-teman Naya juga terlihat menangisi
kepergiannya. Dion, ikut berdiri bersama ratusan pelayat lainnya mengantar
kepergian Naya. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaanya pada saat ini.
Semua ini terlalu mengejutkan. Tapi, ia sadar. Tak ada yang bisa menghindari
takdir. Tak ada yang bisa mengubah skenario yang dibuat-Nya. Dion yang sudah
berusaha sekuat tenaga menahan airmatanya akhirnya menyerah.
Saat semua pelayat
telah pergi, Kafka tetap bersikeras untuk tetap tinggal di situ. Ia menatap
nisan Naya dengan tatapan tidak percaya. Vina berusaha membujuk adik
sematawayangnya itu.
“Kaf, ikhlasin,”
bujuk Vina. Sudut mata Kafka masih terus meneteskan airmata. Hingga akhirnya ia
menyerah dan memilih mengikhlaskan kepergian sahabat sekaligus cinta pertamanya
itu.